Konsumenlistrik.com | Direktur Eksekutif Lembaga riset Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan laju transisi energi perlu dipercepat untuk menurunkan emisi karbon serta sejalan dengan jalur Persetujuan Paris menjaga suhu bumi di bawah 1,5 derajat celcius.
IESR menilai arah transisi energi di Indonesia semakin jelas dengan melihat hasil capaian kinerja 2021 dan rencana kerja 2022 yang disampaikan Kementerian ESDM beberapa waktu lalu.
Baca Juga:
IESR: Pengelolaan Panas Bumi Vital untuk Capai NZE
"Hanya saja masih ada beberapa strategi yang dirasa masih tumpang tindih, seperti pemanfaatan dimetil eter, jaringan gas, dan kompor induksi untuk menggantikan pemenuhan energi rumah tangga yang seharusnya bisa disusun peta jalan yang lebih fokus," ujarnya dalam keterangan tertulis yang dikutip di Jakarta, Rabu (19/1/2022).
Pada Peta Jalan Transisi Energi 2021-2030, pemerintah menitikberatkan pembangunan pembangkit listrik energi baru terbarukan yang mencapai 20,9 gigawatt, sementara PLTS atap ditargetkan sebesar 3,6 gigawatt.
Pembangunan PLTS akan masif dilakukan pada tahun 2031-2050 dengan jumlah total sebesar 279,2 gigawatt.
Baca Juga:
Bakal Jadi Andalan Energi Masa Depan, Kementerian ESDM Percepat Pengembangan PLTS
Berdasarkan kajian IESR, pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan justru harus dikebut pada jangka waktu 2021-2030 untuk mencapai target bauran energi terbarukan dan mencapai puncak emisi di sektor kelistrikan sebelum 2030.
Selain itu, setidaknya perlu peningkatan 14 kali lipat dari jumlah kapasitas energi terbarukan di tahun 2020, dengan sekitar 117 gigawatt berasal dari PLTS dan 23 gigawatt dari pembangkit energi terbarukan lainnya.
Laporan realisasi kapasitas pembangkit listrik energi baru terbarukan oleh pemerintah hingga tahun 2021 mencapai 11.152 megawatt.
Fabby berpendapat bahwa target penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan selalu di bawah target pemerintah sejak tahun 2019 dan tidak on-track dengan target bauran energi terbarukan yang mencapai 24 gigawatt pada 2025.
Menurutnya, penyebab rendahnya penambahan pembangkit energi terbarukan bersifat struktural, antara lain, Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 Tahun 2017 yang membuat proyek pembangkit energi terbarukan tidak bankable, pengadaan pembangkit energi terbarukan yang tidak dilakukan secara berkala dan terjadwal oleh PLN, minimnya dukungan pembiayaan domestik yang kompetitif, serta keterlambatan realisasi proyek karena pandemi.
Menyoroti target investasi sektor energi baru terbarukan di tahun 2022, pemerintah mematok masuknya investasi sebesar 3,9 miliar dolar AS atau naik 2,6 kali dari pencapaian investasi sebelumnya sebesar 1,51 miliar dolar AS pada 2021.
Program Manager Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo mengatakan meskipun target meningkat hampir tiga kali lipat, namun jumlah tersebut tergolong kecil untuk mendanai upaya dekarbonisasi sistem energi di Indonesia.
Berdasarkan kajian Indonesia Energy Transition Outlook 2022, investasi energi terbarukan untuk sektor ketenagalistrikan saja membutuhkan nilai sebesar 11,1 miliar dolar AS per tahun selama satu dekade ke depan.
Beberapa kebijakan dan regulasi energi terbarukan yang seharusnya dirilis tahun lalu, perlu segera dirampungkan untuk meningkatkan kepercayaan investor dan iklim investasi energi terbarukan. [tum]