Energynews.id | Pemerintah telah menyusun Rancangan Undang-Undang mengenai EBT untuk mewujudkan target net zero emission pada 2060, melalui transisi energi menuju energi baru dan terbarukan.
Saat ini, Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) telah diserahkan oleh DPR RI ke Badan Legislasi (Baleg) untuk masuk ke tahap harmonisasi. Meski demikian, aspirasi dan kebutuhan dari masyarakat seperti kelompok perempuan (dan juga masyarakat di daerah 3T) serta pendekatan gender dirasa belum terwakili dari draf RUU EBT yang ada.
Baca Juga:
Simak! Alasan Mengapa Harga Listrik Energi Hijau Lebih Mahal
Melihat hal tersebut, Komisi Perempuan Indonesia (KPI) bekerja sama dengan Institute for Essential Services Reform (IESR) menyelenggarakan Webinar berjudul “RUU EBT: Melihat lebih jauh Perspektif Gender Diakomodasi dalam Kebijakan Energi”.
KPI mendesak agar dibuat kebijakan pengembangan energi bersih terbarukan yang terjangkau di tingkat lokal dibandingkan mengandalkan energi fosil dan nuklir.
Asisten Deputi Direktur Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Maftuh Muhtadi dalam presentasinya mengakui bahwa perempuan masih dipandang sebagai konsumen utama energi listrik.
Baca Juga:
Skema 'Power Wheeling' Tenaga Listrik Bisa Tambah Beban Negara
“Selama ini pengelolaan energi selalu dilekatkan dengan tanggung jawab perempuan terkait peran domestiknya. Konsumsi energi cenderung belum efisien dan peran perempuan penting untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan dan pengelolaan energi,” jelasnya.
Menyoal masih adanya porsi energi fosil di RUU EBT dalam bentuk hilirisasi batubara, Maftuh mengatakan tidak bisa seratus persen menolak energi fosil. Menurutnya, yang terpenting adalah memastikan produksi, distribusi, konsumsi energi mempunyai efek negatif yang sedikit.
Di sisi lain, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Mohamad Yadi Sofyan Noor menyoroti masuknya nuklir dalam RUU EBT bukanlah tindakan yang tepat. Pihaknya menolak pembangunan PLTN karena berpotensi memberikan dampak negatif pada ekonomi petani dan nelayan.