Konsumenlistruk.com | Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif pada hari ini, Kamis (24/3), secara resmi membuka sidang 1st Energy Transitions Working Group (ETWG) di Hotel Sheraton, Yogyakarta.
Pembukaan tersebut sekaligus menandai dimulainya pembahasan mengenai tiga isu utama transisi energi, yaitu aksesibilitas, teknologi, dan pendanaan.
Baca Juga:
Tak Hanya Listrik Andal, Jaringan Internet PLN Turut Sukseskan Rangkaian ETWG hingga ETMM G20
"Kita harus memberikan akses ke masyarakat untuk menikmati energi, makanya diperlukan infrastruktur yang mendukung. Dibutuhkan pula teknologi yang reliable, dan kompetitif untuk dikembangkan serta dukungan pendanaan," kata Arifin dalam Konferensi Pers ETWG-1.
Transisi energi, sambung Arifin, merupakan strategi panjang dunia dalam menekan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), mencapai Net Zero Emission (NZE), hingga meminimalisir perubahan iklim.
"Akibat emisi yang dihasilkan selama ini telah mengakibatkan terjadinya perubahan cuaca yang mengakibatkan banyak hal-hal yang tidak harapkan," jelasnya.
Baca Juga:
Sambut Era EV, Kementerian ESDM dan PLN Gelar Parade Motor Listrik di Bali
Keterlibatan negara-negara G20 diharapkan menjadi stimulus buat akselerasi proses transisi energi. Terlebih G20 telah memberikan kontribusi 80% perekonomian dunia.
"Saya yakin negara-negara G20 telah menerapkan transisi energi untuk mencapai NZE sesuai dengan kebutuhan masing-masing negara situasi ekonomi, sosial dan energi serta kemampuan teknologi, mulai dari tahun 2050 hingga 2070," ungkap Arifin saat membuka sidang ETWG.
Kendati begitu, Arifin mengakui transisi energi harus menyesuaikan dengan kondisi dan target capaian di masing-masing negara.
"Ini bukan tugas yang mudah. Beberapa dari kita telah merasakan manfaat transisi energi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Namun, ada juga negara lain, termasuk Indonesia, yang membutuhkan terobosan kebijakan, dukungan finansial, dan kemitraan teknologi untuk mempercepat transisi energi," tuturnya.
Kehadiran forum ETWG diharapkan mampu menemukan terobosan-teroban inovatif dalam hal teknologi dan pembiayaan.
"Kita perlu mendiskusikan model terbaik untuk memobilisasi pembiayaan publik dan swasta untuk energi terbarukan," urai Arifin.
Bahkan di hadapan para delegasi G20 dan undangan, Arifin menegaskan transisi energi merupakan tanggung jawab bersama, termasuk dukungan dari negara-negara maju.
"Kita perlu bekerja dalam upaya bersama di antara 20 pemerintah untuk mengatasi tantangan dan memanfaatkan potensi dan kemampuan yang kita miliki. Dengan bekerja sama, kita dapat berinovasi lebih cepat, menciptakan skala ekonomi, dan memperkuat insentif untuk investasi," tegas Arifin.
International Renewable Energy Agency (IRENA) sendiri telah memperkirakan pencapaian NZE pada tahun 2050, secara global membutuhkan tiga kali lipat investasi menjadi USD4,4 triliun per tahun untuk membangun energi bersih. "Kita juga perlu memperkuat dan mengumpulkan komitmen dari negara maju untuk menopang pendanaan USD100 miliar per tahun untuk menangani perubahan iklim," pungkas Arifin.
Ia pun menegaskan transisi energi merupakan kunci untuk memungkinkan pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan ketahanan iklim. Untuk mewujudkan hal ini, peran negara-negara berkembang sangat esensial dalam memastikan masa depan energi dan iklim dunia, yaitu sistem energi yang tangguh dan membatasi pemanasan global.
Posisi Indonesia
Pemerintah berkomitmen memastikan terpilihnya Indonesia sebagai Presidensi G20 akan memberikan dampak signifikan bagi perkembangan percepatan Energi Baru dan Terbarukan (EBT).
"Kita harus bisa membuat suatu program transisi energi ini memberikan manfaat bukan suatu beban, memberikan potensi pembukaan ekonomi baru berdampak pada masyarakat luas, mitigasi terhadap biaya, pertumbuhan tenaga kerja hingga industri lokal," tegas Arifin.
Arifin menyoroti bagaimana pemanfaatan EBT melalui pembangunan masif Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap serta teknologi efisiensinya. Di samping itu, terdapat pula konversi motor listrik hingga pemanfaatan biooenergi.
"Dengan B30 semua produk-produk sawit kita termanfaatkan. Ke depannya kita akan melakukan bioavtur, biogasoline yang sedang dalam proses scale up," ungkapnya.
Dampak percepatan EBT ini diharapkan juga mampu membantu mempercepat pencapaian target bauran EBT 23% di tahun 2025. Hal ini sesuai sebagaimana disampaikan oleh Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan kusdiana.
"Kita tunjukkan kepada negara G20 kita telah siap dari sisi regulasi. Apalagi potensi yang besar di kita dari sisi sumber daya EBT maupuan (permintaan) demand. Kita siap memberikan sistem atau mekanisme untuk investasi yang kondusif. Sehingga nanti kita siap tunjukkan kepada tamu G20, kita bisa memastikan capaian (bauran EBT) 23% di tahun 2025 dan 29% penurunan emisi di 2030 melalui kerja sama dengan negara G20 atau mitra negara lainnya," ungkap Dadan.
Apabila proses transisi energi berjalan lancar, diharapkan mampu memudahkan seluruh negara termasuk Indonesia mencapai NZE sekaligus mencapai target pemulihan ekonomi global. "Ini akan menjadi konsensus bersama jika semua negara terlibat. Apalagi peran Indonesia sangat penting mengingat tiga tahun ke depan yang menjadi tuan rumah G20 adalah negara-negara berkembang," jelas Co-Chair ETWG Prahoro Yulijanto.
Salah satu keunikan dari tema Presidensi G20 Indonesia adalah mengangkat permasalahan-permasalahan archipelago state (negara kepulauan).
"Ini mewakili persoalam negara-negara kepulauan dan menjadi pintu masuk bagi kita bagaimana mendukung pencapaian NZE dan perubahan iklim secara global," tutup Prahoro.
Sebagai informasi, pada ETWG kali ini dihadiri oleh anggota G20 baik hadir secara fisik maupun virtual, lima negara undangan, serta lima organisasi internasional. [tum]