KonsumenListrik.WAHANANEWS.CO - Gagasan penerapan skema power wheeling -- yang memungkinkan swasta menggunakan jaringan transmisi PLN untuk menyalurkan listrik dari pembangkit energi terbarukan ke konsumen -- menuai kritik dari Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS), KRT Tohom Purba.
Ia menyebut skema ini sebagai "momok baru" bagi konsumen listrik di Indonesia, karena berpotensi mengancam hak publik atas akses energi yang adil dan terjangkau.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Apresiasi Komitmen AZEC Dukung Pembiayaan Pembangunan Energi Bersih di Indonesia
“Di atas kertas, power wheeling tampak ideal karena mendorong investasi energi bersih. Tapi dalam praktiknya, skema ini berpotensi menciptakan diskriminasi layanan dan tarif bagi konsumen rumah tangga,” kata Ketua Umum Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS), KRT Tohom Purba, pada Konsumen Listrik, Jumat (9/5/2025).
Menurutnya, konsumen kecil justru akan jadi korban dari liberalisasi sistem kelistrikan yang terselubung ini.
Tohom menilai bahwa skema power wheeling secara tidak langsung dapat memperlemah posisi PLN sebagai penyedia listrik publik.
Baca Juga:
Kordinasi dan Pengawasan Jadi Kunci Percepatan Pembangunan IKN, MARTABAT Prabowo-Gibran Ajak Seluruh Elemen Dukung Otorita IKN
"Jika jaringan transmisi PLN dipakai untuk melayani pelanggan industri swasta dengan pasokan listrik dari luar PLN, maka akan terjadi penurunan utilisasi sistem PLN. Ini bukan sekadar urusan teknis, tapi juga berpotensi menaikkan tarif bagi konsumen biasa," tegasnya.
Ia mempertanyakan siapa yang akan menanggung biaya pemeliharaan jaringan jika sebagian besar pengguna besar beralih ke penyedia energi swasta.
“Beban itu pasti akan dilimpahkan ke konsumen rumah tangga, yang tak punya pilihan selain tetap bergantung pada PLN,” ujarnya. Ia menyebut fenomena ini sebagai bentuk privatisasi terselubung atas infrastruktur publik.
Tohom juga menyoroti absennya jaminan keberpihakan terhadap masyarakat kecil dalam wacana power wheeling.
“Kalau pemerintah dan DPR tidak hati-hati, power wheeling ini bisa menjadi Trojan Horse bagi komersialisasi penuh sektor kelistrikan,” katanya.
Ia meminta pemerintah segera mengkaji ulang regulasi dan memperjelas mekanisme kontrol tarif dalam skema tersebut.
Tohom yang juga Wakil Ketua Aliansi LSM Jakarta ini menambahkan bahwa skema ini dapat menimbulkan ketimpangan antarwilayah.
“Jaringan transmisi kita belum merata. Jadi, industri di Jawa mungkin bisa menikmati layanan ini, tapi bagaimana dengan daerah timur Indonesia yang infrastruktur transmisinya belum siap?” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa pemerataan energi harus tetap menjadi prioritas utama ketimbang mengejar daya tarik investasi semata.
Tohom juga menegaskan bahwa ketahanan energi tidak bisa diserahkan kepada mekanisme pasar semata.
“Energi itu kebutuhan dasar. Pemerintah wajib menjamin bahwa setiap kebijakan, termasuk power wheeling, tidak menyingkirkan rakyat kecil dari akses listrik yang layak,” katanya.
Sebelumnya, Institute for Essential Services Reform (IESR) mengusulkan power wheeling sebagai solusi untuk mempercepat pengembangan energi baru terbarukan (EBT).
Menurut IESR, skema ini mampu menarik investasi, menciptakan pasar energi hijau, dan memberi pilihan langsung bagi industri yang ingin menggunakan listrik ramah lingkungan.
“Skema ini akan mempercepat pengembangan EBT tanpa membebani anggaran negara,” kata Manajer Program Transformasi Sistem Energi IESR Deon Arinaldo dalam rapat dengar pendapat di DPR.
Ia menambahkan bahwa industri memerlukan suplai langsung dari pembangkit EBT, bukan sekadar sertifikat energi hijau seperti Renewable Energy Certificate (REC).
Namun demikian, sejumlah kalangan mengingatkan agar pelaksanaan power wheeling dilakukan secara hati-hati dan transparan, agar tidak mencederai prinsip keadilan energi dan merugikan masyarakat umum.
[Redaktur: Mega Puspita]