konsumenlistrik.WAHANANEWS.CO, Jakarta - Ketua Umum Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS), KRT Tohom Purba, menegaskan bahwa pemerintah harus menyiapkan fasilitas penyimpanan limbah nuklir secara paralel dengan rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Menurutnya, tanpa strategi yang jelas untuk mengelola limbah radioaktif, pembangunan PLTN berpotensi menimbulkan masalah lingkungan dan sosial di masa depan.
Baca Juga:
Demi Keamanan Konsumen Pembayar PJU, ALPERKLINAS Minta Pemerintah Daerah dan PLN Bentuk Tim Khusus Pengawasan Lampu Jalan
“Kita tidak bisa hanya fokus membangun PLTN tanpa memikirkan bagaimana menangani limbahnya. Swedia dan Finlandia telah menunjukkan bahwa pengelolaan limbah nuklir harus dirancang dengan standar keamanan jangka panjang. Pemerintah Indonesia harus belajar dari mereka agar tidak terjebak dalam permasalahan besar di kemudian hari,” ujar Tohom di Jakarta, Jumat (23/2/2025).
Tohom menyoroti langkah Swedia yang membangun fasilitas penyimpanan limbah nuklir di Forsmark, yang dirancang untuk bertahan hingga 100.000 tahun.
Proyek ini menelan biaya sekitar Rp 20 triliun dan sepenuhnya dibiayai oleh industri nuklir Swedia.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Apresiasi Gotong Royong Semua Lapisan Masyarakat Berlomba Dukung Energi Bersih
Menurutnya, ini adalah contoh konkret bagaimana sebuah negara memastikan keamanan limbah nuklir sebelum memperluas kapasitas PLTN mereka.
“Jangan sampai kita membangun PLTN hanya karena kebutuhan energi, tapi tidak punya tempat yang aman untuk limbahnya. Limbah nuklir bukan sesuatu yang bisa dibiarkan begitu saja, karena dampaknya bisa berbahaya bagi masyarakat dan lingkungan dalam jangka panjang,” tegasnya.
Pengelolaan Limbah Nuklir
Tohom juga mengingatkan bahwa pertumbuhan penggunaan listrik dari tenaga nuklir secara global harus diimbangi dengan kebijakan pengelolaan limbah yang ketat.
Data dari International Energy Agency (IEA) menunjukkan bahwa pada 2025, listrik tenaga nuklir akan mencapai 2.900 terawatt-jam, menyumbang 10% dari kebutuhan listrik dunia.
Hal ini menunjukkan bahwa nuklir menjadi salah satu sumber energi utama di masa depan.
“Kita melihat negara-negara besar seperti China, Amerika Serikat, dan Prancis sudah agresif mengembangkan PLTN. Namun, mereka juga memiliki strategi yang jelas dalam mengelola limbahnya. Indonesia harus memiliki pendekatan yang serupa agar pembangunan PLTN tidak menjadi ancaman bagi masyarakat,” lanjutnya.
Tohom, yang juga menjabat sebagai Ketua Pengacara Persatuan Marga Purba Se-Jabodetabek, menilai bahwa pemerintah harus bersikap transparan dan melibatkan publik dalam perencanaan fasilitas limbah nuklir.
Menurutnya, aspek hukum dan perlindungan konsumen harus diperhatikan, mengingat risiko yang ditimbulkan dari limbah nuklir sangat besar jika tidak dikelola dengan baik.
“Jangan sampai kebijakan ini hanya diputuskan di level elit tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat. Harus ada kajian menyeluruh, sosialisasi, dan keterlibatan publik agar masyarakat memahami risiko dan manfaat dari energi nuklir ini,” ujarnya.
Masa Depan Energi Indonesia
Dalam skala global, investasi di sektor energi nuklir semakin meningkat. Beberapa perusahaan teknologi raksasa seperti Google, Amazon, Microsoft, dan Meta mulai berinvestasi dalam tenaga nuklir untuk mendukung kebutuhan energi pusat data mereka.
Hal ini menunjukkan bahwa nuklir bukan lagi energi masa depan, melainkan sudah menjadi realitas kebutuhan energi saat ini.
Namun, Tohom mengingatkan bahwa meskipun nuklir dapat menjadi solusi energi bersih, tantangan dalam pengelolaan limbahnya tetap menjadi isu utama.
Oleh karena itu, ia mendesak pemerintah untuk segera menyusun regulasi yang jelas serta memastikan bahwa setiap rencana pembangunan PLTN sudah mencakup strategi penanganan limbah yang aman dan berkelanjutan.
“Kita tidak bisa hanya melihat potensi listrik yang besar dari nuklir, tetapi harus memperhitungkan seluruh aspek, termasuk pengelolaan limbahnya. Pemerintah harus memastikan bahwa infrastruktur penyimpanan limbah dibangun bersamaan dengan PLTN, bukan setelahnya,” pungkasnya.
[Redaktur: Rinrin Kaltarina]