Ia mengingatkan bahwa semangat menuju transisi energi harus berpihak kepada rakyat. Jika perlu, kata dia, skema tarif untuk listrik dari sampah harus diatur tersendiri dan dipastikan tidak lebih mahal dari rata-rata harga listrik konvensional.
“Sampah adalah masalah bersama, tapi jangan lantas masyarakat diminta membayar dua kali: pertama karena kontribusinya sebagai produsen sampah, dan kedua sebagai konsumen energi dari sampah itu sendiri,” pungkasnya.
Baca Juga:
Antisipasi Lonjakan Konsumsi Listrik 2029, ALPERKLINAS Apresiasi Rencana Group Gallant Venture Ltd Bangun Pembangkit Listrik di Batam
Sebelumnya, dalam kunjungan ke lokasi proyek PSEL di Palembang, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menegaskan bahwa proyek ini merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Perpres Nomor 12 Tahun 2025.
Pemerintah berkomitmen mendorong pengolahan sampah berbasis teknologi ramah lingkungan yang dapat menghasilkan nilai tambah ekonomi dan mengurangi beban lingkungan.
Di sisi lain, GIS Analyst dari Institute for Essential Services Reform (IESR), Sodi Zakiy Muwafiq, menilai bahwa teknologi insinerasi dalam proyek PSEL bisa efektif, asalkan menggunakan sistem kontrol emisi canggih dan berstandar tinggi.
Baca Juga:
Target Transisi Energi Bersih 100 Persen di 2029, ALPERKLINAS Apresiasi Raksasa Farmasi Bayer Indonesia Gunakan PLTS Atap Demi Kurangi Emisi Karbon
Namun, ia juga mengingatkan bahwa biaya produksi dari PSEL tetap lebih tinggi dibandingkan PLTU berbasis batu bara, sehingga perlu regulasi tambahan berupa subsidi tarif agar tidak menekan daya beli masyarakat.
“PLTSa memang solusi, tapi bukan tanpa risiko. Perlu pengawasan ketat agar emisi tak melebihi ambang batas, dan agar tidak ada beban tersembunyi bagi masyarakat,” kata Sodi.
[Redaktur: Mega Puspita]