KonsumenListrik.WAHANANEWS.CO, Jakarta - Di tengah upaya pemerintah mendorong penggunaan energi bersih berbasis limbah kota, Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS) menyampaikan keprihatinan serius terhadap potensi lonjakan beban biaya yang mungkin ditanggung oleh konsumen.
Ketua Umum ALPERKLINAS, KRT Tohom Purba, meminta pemerintah mengkaji ulang skema biaya produksi listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) atau yang kini dikenal sebagai Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL).
Baca Juga:
ALPERKLINAS Apresiasi Dukungan Gubernur NTT Jadikan Provinsi Energi Terbarukan: Yang Penting Adil dan Transparan
Menurut Tohom, keberadaan proyek PSEL seperti yang sedang dikembangkan di Kota Palembang memang menjanjikan solusi atas tumpukan sampah dan ketergantungan pada energi fosil.
Namun, ia mengingatkan bahwa jangan sampai semangat memproduksi energi hijau justru menjadi dalih untuk menaikkan tarif listrik bagi masyarakat.
"Jangan sampai niat baik mengubah sampah menjadi listrik justru berujung pada penderitaan konsumen. Kami meminta pemerintah transparan soal perhitungan biaya produksi dan memastikan agar tidak ada biaya tambahan yang secara diam-diam dibebankan kepada rakyat," tegas Tohom, Kamis (19/6/2025).
Baca Juga:
Turut Mewujudkan Kota Ramah Lingkungan, ALPERKLINAS Apresiasi Kerjasama PLN–Pemda Indramayu Kelola Limbah Jadi Tenaga Listrik
Sebagai informasi, proyek PSEL di Palembang diproyeksikan mampu menghasilkan energi listrik hingga 20 megawatt (MW), dengan sekitar 17,7 MW disalurkan ke jaringan PLN.
Namun, biaya produksi dari teknologi insinerasi modern yang digunakan pada PLTSa memang tergolong mahal. Hal inilah yang menjadi sorotan utama ALPERKLINAS.
Tohom menyampaikan bahwa pemerintah perlu memformulasikan ulang kebijakan insentif dan subsidi untuk pembangkit energi berbasis sampah.
Ia menilai, meskipun proyek ini masuk dalam kategori Energi Baru Terbarukan (EBT), tidak seharusnya masyarakat menanggung konsekuensi finansial dari pembangunan fasilitas yang bersifat strategis nasional.
“Kalau negara ingin membangun pembangkit hijau, maka negara juga harus bertanggung jawab atas subsidinya. Jangan dibebankan secara implisit lewat tagihan konsumen. Ingat, energi bersih seharusnya bukan energi mahal,” kritik Tohom tajam.
Ia juga menyoroti perlunya audit independen terhadap skema pembiayaan dan kontrak jual beli listrik (power purchase agreement/PPA) antara pengelola PLTSa dan PLN.
Menurutnya, tanpa keterbukaan dan pengawasan yang ketat, biaya produksi energi dari sampah bisa saja dimark-up, yang akhirnya menyusahkan konsumen kecil.
Tohom yang juga Ketua Umum Lembaga Konsumen Ketenagalistrikan Indonesia (LKKI) ini menegaskan bahwa isu energi tidak boleh dipisahkan dari keadilan sosial.
"Kami akan terus mengawasi proyek-proyek PSEL agar tidak disusupi oleh kepentingan bisnis sepihak yang menomorduakan hak konsumen,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia meminta pemerintah daerah seperti Kota Palembang untuk secara terbuka melibatkan masyarakat sipil dan lembaga konsumen dalam setiap tahapan perencanaan dan implementasi proyek PSEL.
“Transparansi adalah kata kunci. Jangan hanya bangga proyek masuk dalam daftar strategis nasional, tapi rakyat tak tahu bagaimana listrik itu dihasilkan dan berapa ongkosnya. Jangan sampai program pengelolaan sampah berubah menjadi ladang monopoli baru,” ujar Tohom.
Ia mengingatkan bahwa semangat menuju transisi energi harus berpihak kepada rakyat. Jika perlu, kata dia, skema tarif untuk listrik dari sampah harus diatur tersendiri dan dipastikan tidak lebih mahal dari rata-rata harga listrik konvensional.
“Sampah adalah masalah bersama, tapi jangan lantas masyarakat diminta membayar dua kali: pertama karena kontribusinya sebagai produsen sampah, dan kedua sebagai konsumen energi dari sampah itu sendiri,” pungkasnya.
Sebelumnya, dalam kunjungan ke lokasi proyek PSEL di Palembang, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menegaskan bahwa proyek ini merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Perpres Nomor 12 Tahun 2025.
Pemerintah berkomitmen mendorong pengolahan sampah berbasis teknologi ramah lingkungan yang dapat menghasilkan nilai tambah ekonomi dan mengurangi beban lingkungan.
Di sisi lain, GIS Analyst dari Institute for Essential Services Reform (IESR), Sodi Zakiy Muwafiq, menilai bahwa teknologi insinerasi dalam proyek PSEL bisa efektif, asalkan menggunakan sistem kontrol emisi canggih dan berstandar tinggi.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa biaya produksi dari PSEL tetap lebih tinggi dibandingkan PLTU berbasis batu bara, sehingga perlu regulasi tambahan berupa subsidi tarif agar tidak menekan daya beli masyarakat.
“PLTSa memang solusi, tapi bukan tanpa risiko. Perlu pengawasan ketat agar emisi tak melebihi ambang batas, dan agar tidak ada beban tersembunyi bagi masyarakat,” kata Sodi.
[Redaktur: Mega Puspita]