KonsumenListrik.WAHANANEWS.CO, Jakarta - Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS) menyatakan dukungannya terhadap upaya pemerintah dalam mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di 33 kota besar di Indonesia.
Langkah ini dinilai sebagai strategi krusial dalam menjawab tantangan krisis energi sekaligus mengurai persoalan sampah yang kian membebani lingkungan dan anggaran daerah.
Baca Juga:
Banyak Masyarakat Rasakan Manfaatnya, ALPERKLINAS Minta PLN Tempatkan CSR pada Sektor Produktif
Ketua Umum ALPERKLINAS, KRT Tohom Purba, menegaskan bahwa proyek PLTSa adalah jalan tengah antara kebutuhan akan listrik yang berkelanjutan dan penanganan limbah yang selama ini belum optimal.
Menurut Tohom, Indonesia saat ini menghasilkan lebih dari 70 juta ton sampah per tahun, namun sebagian besar masih dibuang begitu saja ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tanpa proses daur ulang atau konversi energi.
"Kalau potensi ini dikelola secara sistematis melalui PLTSa, kita bisa menghasilkan hingga 6.000 megawatt listrik setiap tahun. Ini bukan hanya menyelamatkan lingkungan, tapi juga memperkuat ketahanan energi nasional secara signifikan," kata Tohom, Jumat (11/7/2025).
Baca Juga:
Pastikan Keselamatan, ALPERKLINAS Minta Pemerintah dan PLN Sosialisasi Intens Jarak Jaringan Listrik dengan Rumah Masyarakat
Ia juga menyebut bahwa pendekatan ekonomi hijau dan energi terbarukan sudah saatnya menjadi kerangka utama pembangunan nasional.
Investasi dalam teknologi pengolahan sampah menjadi listrik, menurutnya, harus disambut sebagai bentuk keberanian negara untuk menjemput masa depan.
“Ini bukan sekadar proyek energi, tapi proyek peradaban. Rakyat butuh solusi nyata, bukan janji berulang tentang penanganan sampah yang tak pernah tuntas,” ujarnya.
Tohom menilai PLTSa memiliki tiga keunggulan strategis. Pertama, mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Kedua, memperpanjang umur TPA yang saat ini banyak yang sudah melebihi kapasitas.
Dan ketiga, menekan dampak lingkungan dari sampah organik yang memproduksi gas metana, gas rumah kaca yang jauh lebih berbahaya dari karbon dioksida.
"Bayangkan jika semua kota besar memiliki PLTSa, maka tidak hanya kita memproduksi listrik dari limbah, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru, mendorong inovasi teknologi lokal, dan menjadikan sampah sebagai komoditas bernilai," ujar Tohom yang juga dikenal sebagai tokoh penggerak literasi energi di Indonesia.
Tohom, yang juga peraih Rekor MURI dalam Bidang Seminar Terbanyak, menambahkan bahwa edukasi publik tentang manfaat PLTSa harus digencarkan.
"Selama ini yang terdengar hanya sisi negatif dari proyek pengolahan sampah. Padahal, di banyak negara, teknologi ini sudah terbukti efisien dan ramah lingkungan. Indonesia tinggal menyesuaikan dengan kondisi lokal dan mempercepat adopsinya," ucapnya.
Ia mengingatkan pemerintah agar tidak hanya fokus pada pembangunan infrastruktur fisik, tetapi juga memastikan aspek legal, tarif listrik dari sampah, serta skema perlindungan konsumen diatur secara transparan.
"Jangan sampai proyek PLTSa ini hanya menjadi pencitraan lingkungan, tapi tidak menyentuh kepentingan rakyat secara langsung," tegasnya.
Tohom juga menyampaikan bahwa ALPERKLINAS siap menjadi mitra kritis sekaligus konstruktif bagi pemerintah dan investor dalam proses pembangunan PLTSa di berbagai kota.
“Kami akan kawal dari sisi perlindungan konsumen energi. Rakyat harus tahu berapa biaya yang dibebankan dan apa manfaat yang diterima,” katanya.
Sebelumnya, Direktur Utama PT Maharaksa Biru Energi Tbk, Bobby Gafur Umar, juga menyoroti potensi besar dari pengolahan sampah menjadi listrik.
Menurut Bobby, dari total 70 juta ton sampah yang diproduksi Indonesia setiap tahun, sebagian besar masih ditangani dengan metode open dumping.
Jika pengolahan di 33 kota besar dioptimalkan, maka bisa dihasilkan hingga 6.000 megawatt listrik, sebuah peluang besar untuk mendukung transisi energi bersih di Indonesia.
[Redaktur: Mega Puspita]