“PLTA Poso mampu start-stop dengan cepat, bahkan sinkronisasi dapat dilakukan dalam waktu kurang dari 15 menit. Sehingga mampu merespons perubahan beban dengan cepat sehingga memperbaiki kualitas listrik pada sistem jaringan,” papar Darmawan.
Berbeda dengan PLTA umumnya yang menggunakan konsep waduk sehingga membutuhkan lahan yang besar, PLTA Poso menggunakan sistem pengelolaan run-off river (ROR). Sistem ini tetap mempertahankan aliran sungai selama 24 jam, hanya menggunakan bendungan atau tanggul berukuran cukup kecil sebagai penahan atau gerbang air.
Baca Juga:
PLN Siap Pasok Kebutuhan Listrik Industri di Sulawesi dengan Energi Hijau
“Kita hanya pinjam, air sungainya kita diversi sedikit ke sekitar sisi sungai, kita terjunkan ke turbin, kemudian kembalikan lagi pada sistem sungai,” papar Darmawan.
Dari aspek pengembangan energi terbarukan, PLTA Poso berkontribusi sekitar 10,69 persen dari total bauran EBT sistem kelistrikan Sulawesi Bagian Selatan.
Selain itu, terbangunnya PLTA Poso merupakan bukti nyata agresifnya Indonesia sebagai tuan rumah KTT G20 yang berkontribusi dalam pengurangan emisi dunia. PLTA Poso menjadi showcase bahwa pengembangan pembangkit EBT saat ini makin kompetitif.
Baca Juga:
Diresmikan Jokowi, Ini Dia PLTA Poso, Pembangkit EBT Terbesar di Indonesia Timur
“PLTA Poso menjadi salah satu proyek dengan kapasitas besar, menjadi peaker dan follower di sistem kelistrikan Sulawesi. Dengan hadirnya PLTA Poso juga mampu menurunkan biaya produksi listrik sehingga menjadi bukti pengembangan EBT makin kompetitif,” tambah Darmawan.
Saat ini pembangkit ramah lingkungan ini telah terinterkoneksi dengan saluran transmisi 275 kV ke Provinsi Sulawesi Selatan. Tak hanya itu, PLTA Poso juga telah tersambung dengan saluran transmisi 150 kV dari pembangkit ke Kota Palu, Sulawesi Tengah