Konsumenlistrik.com I Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril memastikan kendaraan listrik merupakan solusi untuk bisa menekan emisi karbon.
Selain menekan emisi karbon juga menekan defisit neraca keuangan negara.
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
Bob menjawab, andai saja seluruh sumber kelistrikan berasal dari PLTU, tetap saja kendaraan listrik ini lebih bisa menekan emisi karbon. Sebab, perhitungan 1 kwh listrik yang dihasilkan dari PLTU hanya mengeluarkan 0,85 kg emisi karbon.
Perhitungannya didapat dari jumlah karbon emisi yang dikeluarkan oleh kendaraan konvensional 1 liter bensin adalah sebesar 2,45 kg. Sedangkan kendaraan listrik tidak mengeluarkan emisi sama sekali. Lalu, timbul pertanyaan soal sumber energi listrik yang juga masih mengeluarkan emisi.
"Padahal saat ini porsi PLTU itu hanya 65 persen dari total sumber listrik. Artinya, dari sisi emisi buang tetap lebih rendah dengan menggunakan kendaraan listrik," kata Bob dalam sebuah diskusi, Senin (13/12/2021).
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
Apalagi, kata Bob ke depan Indonesia mulai beralih ke pembangkit yang ramah lingkungan. PLN punya roadmap pada tahun ini menyetop pembangunan PLTU baru di luar yang sudah direncanakan dalam proyek 35 GW.
"Tapi kalau transisi energi, kontribusi EBT 23 persen ini juga akan memberikan penurunan yang lebih besar. Dari sisi emisi buang industri juga, pabrikan saat ini juga akan menggunakan energi dari PLN kan. Kalau satuan tadi, ya CO2-nya juga rendah," ujar Bob.
Dengan masifnya pembangkit EBT kedepan, pada 2023 mendatang sudah bisa mencapai porsi 23 persen maka emisi gas buang yang dikeluarkan juga makin rendah. "Apabila nanti ada EBT yang lebih besar, maka penurunannya bisa sampai net zero emmision," tambah Bob.
Sementara itu, penggunaan mobil listrik ini juga menolong neraca keuangan negara. Hingga semester satu tahun ini saja beban impor minyak mentah mencapai angka 16,8 juta dolar AS. Diprediksi hingga akhir tahun bahkan negara harus merogoh kocek sampai Rp 200 triliun hanya untuk impor minyak mentah.
Padahal, hingga 2024 jika Indonesia tidak segera memasifkan kendaraan listrik maka laju pertumbuhan mobil konvensional akan bertambah. Selain beban emisi karbon juga akan meningkat, kebutuhan akan BBM juga akan meningkat.
"Beban impor bahkan diprediksi bisa mencapai Rp 300 triliun. Tapi kalau pakai EV, dan ini kan juga bisa mengurangi impor. Kita bisa bayangkan, berapa penghematan yang bisa dikantongi negara melalui kendaraan listrik ini," ujar Bob. (tum)