Konsumenlistrik.com I Indonesia kaya dengan biji nikel yang menjadi bahan baku dari pembuatan baterai EV.
Dalam membuat baterai tersebut, Indonesia Battery Corporation (IBC) bekerjasama dengan mitra konsorsium LG Group dari Korea Selatan dan Contemporary Amperex Technology Co. Ltd (CATL) dari China.
Baca Juga:
Dirjen Migas Paparkan Kisah Sukses Raih EOR Indonesia
Indonesia berpotensi jadi pemain global di industri kendaraan listrik atau Electric Vehicle (EV) karena memiliki sumber daya terintegrasi dari hulu ke hilir.
“Investasi yang kita keluarkan hampir USD 15,4 triliun dan membutuhkan waktu 3-4 tahun untuk membangun industrinya. Keuntungan kita adalah semua sudah terintegrasi jadi satu di Indonesia. Hanya nilai komersialnya yang harus dikejar yang paling optimal dan paling baik untuk Indonesia,” kata Presiden Direktur Indonesia Battery Corporation (IBC) Toto Nugroho, dalam Forum Diskusi Salemba (FDS) yang diselenggarakan ILUNI UI, Sabtu (20/11/2021).
Ketua Umum ILUNI UI Andre Rahadian menekankan pentingnya Indonesia berperan dalam ekosistem industri EV. Apalagi, melihat peran Indonesia setelah mengikuti COP26 dan Presidensi G-20. Banyak yang bisa dilakukan Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk besar dan sumber daya yang banyak, tapi juga pengimpor bensin.
Baca Juga:
PLN Beri Keandalan Kelistrikan Bagi Konsumen yang Jauh dari Pembangkit
“Sehingga, menurut kami sangat penting terciptanya satu ekosistem untuk membangun dan berhasilnya EV di Indonesia,” ujar Andre dalam kesempatan yang sama.
“Kita tahu banyak terobosan lahir dari universitas, karena itu untuk membangun ekosistem EV perlu peran besar dari universitas dan alumninya yang tersebar di seluruh sektor untuk memperkenalkan dari hulu ke hilir. Mengomunikasikan kepada masyarakat adanya manfaat dari EV, termasuk insentif pajak yang ada,” kata Andre melanjutkan.
Pengamat ekonomi UI Toto Pranoto mengatakan masyarakat global sudah mulai beralih ke EV. Dia mencatat secara global data penjualan EV naik 43 persen pada 2020 dengan penjualan hingga 3,2 juta unit.
Banyak pabrikan dunia sudah menargetkan akan segera masuk ke pasar EV. Norwegia bahkan sudah menargetkan tahun 2025 negaranya sudah 100 persen menggunakan EV. Lantas di Indonesia, pertanyaan utamanya yakni bagaimana cara mengembangkan manufaktur nasional agar bisa mendorong industri yang menghasilkan produk atraktif bagi konsumen, serta harga yang kompetitif saat diadu dengan produk asing.
Direktur Hyundai Tri Wahono mengatakan, masyarakat butuh edukasi lebih dalam soal EV agar tidak ada resistensi. Bagaimana dampak penggunaan EV terhadap lingkungan dan ekonomi nasional. Hal ini mengingat negara-negara di Asia Tenggara belum ada yang bergerak.
Sebagai contoh dengan konversi 30 persen dari BBM ke EV, impor BBM bisa ditekan hingga Rp 2-3 miliar per tahun. Sementara itu, pembalap nasional Fitra Eri turut menjelaskan bahwa upaya peralihan ke EV bagi masyarakat tidak cuma sekadar membawa isu lingkungan. Pasalnya konsumen umumnya tidak banyak pusing soal isu lingkungan dan lebih mempertimbangkan nilai ekonomis.
“Mobil listrik harganya masih di atas Rp 1 miliar. Mahal. Konsumen beli mobil listrik bukan karena sadar lingkungan, tapi penasaran, layak tidak sih pindah ke mobil listrik. Ujung-ujungnya perhitungan ekonomi,” kata Fitra. (tum)