Melihat antusiasme para petani untuk menerapkan Electrifying Agriculture, PLN pun merespons dengan langsung memasang jaringan khusus untuk para petani. Berawal dari Kecamatan Purwokarjo, intensifikasi pertanian buah naga itu kemudian berkembang hingga ke kecamatan lain dan terus meluas hingga saat ini.
Kemudahan jaringan ini kemudian disusul dengan penerapan Electrifying Agriculture lainnya, seperti untuk pengairan. Sebelumnya, petani menggunakan mesin pompa air berbahan bakar diesel sehingga kebutuhan biayanya cukup tinggi yaitu sekitar Rp 8,9 juta per bulan.
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
“Kini setelah menggunakan listrik PLN, biaya yang dikeluarkan hanya Rp 4,6 juta per bulan,” ungkap dia.
Edy menambahkan migrasi alat pertanian ini membuat petani lebih hemat dan tetap produktif. Kini, total produksi buah naga di Banyuwangi meningkat dari 19.068 ton per tahun menjadi 98.436 ton per tahun.
“Kami berharap kolaborasi PLN dan para petani tidak berhenti sampai di sini saja, tetapi semakin erat dan menguntungkan karena membuat petani maju dan sejahtera,” ujarnya.
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
Melimpahnya panen buah naga membuka peluang lainnya. Misalnya saja, pemanfaatan buah naga menjadi makanan olahan seperti dodol buah naga, keripik buah naga dan mi buah naga.
Saat ini, Edy rutin memberikan pembinaan terkait bagaimana cara meningkatkan produktivitas buah naga, baik cara merawat tanaman buah naga maupun cara menggunakan lampu pada saat di luar musim.
Dia juga aktif menjadi pembicara dalam berbagai seminar dan sharing session tentang pertanian buah naga, sehingga ilmu tentang buah naga dapat tersebar luas di kalangan petani, terutama petani milenial.