Konsumenlistrik.com | Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana meyakini bahwa target kapasitas terpasang pada tahun ini dapat tercapai sebesar 450 MWp. Meskipun realisasinya hingga saat ini baru jauh dari target.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) optimistis target kapasitas terpasang PLTS atap sebesar 450 Megawatt peak (MWp) dapat tercapai pada tahun ini. Sekalipun, pelaksanaan Peraturan Menteri ESDM No 26/2021 tentang PLTS Atap tengah dikaji ulang.
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
"Baru sedikit. Sekarang sudah triwulan dua. Tapi kan PLTS cepat dipasang. Industri kan bisa memasang secara paralel secara langsung 10 MWp itu bisa saja cepat secara implementasinya," ujarnya kepada CNBC Indonesia dalam Energy Corner, Senin (9/5/2022).
Menurut Dadan target tambahan kapasitas terpasang PLTS atap sebesar 450 MWp akan dapat terkejar di akhir tahun. Mengingat proses pemasangan PLTS atap selain cepat juga penggunanya mencapai ribuan.
Seperti diketahui, pemerintah kata Dadan menargetkan kapasitas terpasang PLTS Atap pada 2025 mencapai 3.600 Megawatt (MW) atau sekitar 3,6 Giga Watt (GW).
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
Namun demikian, untuk mencapai target ini memang tidak mudah, pasalnya kapasitas terpasang PLTS Atap hingga sampai saat ini baru sebesar 54 MW dengan jumlah pelanggan sekitar 5300 yang tersebar di seluruh Indonesia.
"Sekarang kapasitas di angka 54 MW yang sudah ada meteran eximnya dari PLN. Tapi sudah banyak nih yang sebenarnya masang tapi belum ada meterannya jadi belum bisa dihitung berapa tambahannya. Kemudian dari yang masang itu kira-kira angkanya 5300 an," katanya.
Berkaitan dengan capaian pembangkit PLTS Atap itu, saat ini kata Dadan Kusdiana, pihaknya bersama PT PLN (Persero) terus melakukan diskusi agar implementasi aturan mengenai PLTS Atap dapat dijalankan. Mengingat, penerapan PLTS atap berpotensi mengganggu bisnis penjualan listrik PLN.
Pasalnya, perusahaan setrum pelat merah ini masih mengalami kelebihan pasokan listrik atau oversupply. Sehingga hal tersebut turut menjadi perhatian pemerintah.
"Padahal Permen ini juga sudah disusun dengan baik. Melibatkan stakeholder tetapi kenyataannya isu oversupply semakin menguat," kata Dadan.
Apalagi, selama ini skema pembelian listrik PLN dari pihak swasta melalui kebijakan Take or Pay alias TOP. Artinya mau digunakan atau tidak digunakan, PLN harus tetap membayar sejumlah tagihan dari pembangkit Independent Power Producer (IPP) sesuai dengan kontrak yang disepakati.
"Tidak dipungkiri bahwa PLN ujungnya ke negara tetap harus membayar dari kontrak listrik yang sudah ada, mau dipakai atau tidak ini harus tetap dibayar. Ini angkanya cukup besar," ujarnya.
Oleh sebab itu, menurut Dadan pemerintah perlu melihat persoalan ini lebih realistis lagi. Sehingga diskusi dengan PLN guna mencari titik temu masih terus dilakukan. [tum]