KonsumenLitrik.WAHANANEWS.CO - Permintaan pasar terhadap pasokan listrik ramah lingkungan terus melonjak seiring meningkatnya kesadaran industri dan konsumen akan pentingnya keberlanjutan.
PT PLN (Persero) mencatat minat terhadap layanan Renewable Energy Certificate (REC) telah mencapai 13,68 terawatt hour (TWh) hingga Juni 2025, tumbuh 14 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Apresiasi Swasta Ikut Andil Dukung Energi Listrik Terbarukan di Indonesia
Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS) menilai tren ini bukan sekadar pencapaian bisnis PLN, tetapi juga indikasi bahwa pasar kini mulai menempatkan keberlanjutan sebagai faktor utama dalam rantai nilai produk.
REC yang dihadirkan PLN dinilai sebagai instrumen yang strategis karena mampu memberikan pengakuan internasional atas penggunaan listrik dari energi baru terbarukan (EBT) dengan cara yang transparan dan akuntabel.
“Ini bukan sekadar soal membeli listrik hijau, tapi soal membangun reputasi industri di mata pasar global. Perusahaan yang mampu membuktikan penggunaan listrik ramah lingkungan akan memiliki keunggulan kompetitif, terutama untuk ekspor ke negara-negara yang ketat menerapkan standar keberlanjutan,” ujar Ketua Umum ALPERKLINAS, KRT Tohom Purba, Rabu (13/8/2025).
Baca Juga:
ALPERKLINAS Dukung Pembangunan PLTSa di 33 Kota, Ubah 70 Juta Ton Sampah Jadi 6.000 MW Listrik Per Tahun
Ia menambahkan, keberadaan REC dengan harga yang relatif terjangkau, yakni Rp35 ribu per unit untuk 1.000 kWh, membuka peluang bagi berbagai sektor, termasuk usaha kecil dan menengah, untuk ikut serta dalam transisi energi tanpa beban biaya yang berlebihan.
“Kalau program ini terus dioptimalkan, bukan hanya industri besar yang akan merasakan manfaatnya, tetapi juga pelaku usaha yang lebih kecil, sehingga transisi energi bisa berjalan lebih merata,” tegasnya.
Tohom yang juga salah satu Pendiri Perkumpulan Perlindungan Konsumen Nasional ini mengungkapkan, di tengah peralihan menuju energi bersih, posisi konsumen listrik harus mendapatkan perhatian serius.
“Kita harus pastikan bahwa biaya tambahan untuk mengadopsi listrik hijau tidak sepenuhnya dibebankan kepada konsumen akhir. PLN dan pemerintah perlu memastikan ada insentif atau skema yang adil, sehingga konsumen tetap terlindungi,” ujarnya.
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, sebelumnya mengatakan bahwa REC menjadi solusi andal bagi industri dan bisnis yang ingin memastikan sumber listriknya 100 persen berasal dari pembangkit EBT.
Sejak diluncurkan pada 2020, penjualan REC terus mencatat pertumbuhan signifikan dari 308.610 MWh pada 2021, melonjak menjadi 1.762.953 MWh di 2022, 3.543.638 MWh di 2023, dan 5.382.245 MWh di 2024. Hingga semester pertama 2025, angka penjualan telah mencapai 2.689.117 MWh.
PLN saat ini mengandalkan pasokan listrik hijau dari sepuluh pembangkit, di antaranya PLTP Kamojang, PLTP Ulubelu, PLTP Lahendong, PLTP Ulumbu, PLTA Cirata, PLTA Bakaru, PLTA Orya Genyem, PLTA Saguling, PLTA Mrica, dan PLTM Lambur.
Sebelumnya, sejumlah perusahaan besar seperti PT Cheil Jedang Indonesia, Nike, PT Asahimas Chemical, PT South Pasific Viscose, PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk, PT Air Liquide Indonesia, PT Smelting, PT Ceria Metalindo Prima, PT Frisian Flag Indonesia, PT Ajinomoto Indonesia, dan PT HM Sampoerna Tbk telah menjadi pelanggan listrik hijau PLN.
Head ID SMS Department PT HM Sampoerna Tbk, Imron Hamzah, menyebut kerja sama dengan PLN yang sudah berjalan tiga tahun mendukung visi perusahaan dalam pembangunan berkelanjutan.
General Manager PT Inecda Plantation, Khamdi, juga menegaskan kolaborasi ini membantu mengurangi emisi karbon dan mendukung penerapan prinsip ESG.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]