Ia juga menilai langkah pemerintah memasukkan pembangunan transmisi baru dalam RUPTL 2025–2035 sepanjang 48.000 kilometer sirkuit sebagai keputusan tepat, namun perlu percepatan eksekusi.
“RUPTL itu roadmap yang baik, tetapi harus segera turun menjadi kontrak, pembangunan, dan penyelesaian proyek di lapangan. Konsumen menunggu listrik bersih yang andal dan terjangkau, bukan sekadar rencana panjang di atas kertas,” tegas Tohom.
Baca Juga:
Surat Edaran ESDM Soal BBM Dinilai Tak Adil: Sah Administratif, Lemah Substantif
Lebih jauh, Tohom menekankan bahwa kehadiran infrastruktur transmisi akan meningkatkan minat investor karena memberikan kepastian bahwa listrik yang mereka hasilkan dapat langsung diserap PLN atau industri.
“Energi terbarukan tidak hanya bicara lingkungan, tapi ekonomi. Jika investor yakin listriknya terserap, ekosistem EBT akan bergerak, tarif dapat lebih kompetitif, dan konsumen menikmati dampak akhirnya,” jelasnya.
Ia pun mengapresiasi komitmen pemerintah yang selaras dengan arahan Presiden Prabowo Subianto, namun mengingatkan bahwa keberhasilan transisi energi ditentukan oleh kemampuan negara menutup ‘bottle neck’ infrastruktur.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Dorong Perusahaan Mitra PLN Beri CSR ke Masyarakat dalam Bentuk Bantuan Kelistrikan
“Transmisi adalah kunci. Jika itu dibangun, maka percepatan EBT bukan mimpi lagi, tetapi realitas yang dapat dirasakan seluruh masyarakat,” tutup Tohom.
[Redaktur: Mega Puspita]