Konsumenlistrik.com | Anggota Komisi VII DPR RI Kardaya Wanika menilai, sejatinya tidak hanya direksi PLN saja yang diganti, namun juga komisaris PLN.
Hal itu lantaran Menteri BUMN Erick Thohir belum lama ini memecat Direktur Energi Primer PT PLN Persero.
Baca Juga:
Politisi Demokrat Burhanuddin Abdullah Jadi Komut PLN, Eks Guberur BI Andi Arief Komisaris
Pasalnya kekurangan stok batu bara PLN merupakan kejadian luar biasa dan itu menjadi tanggung jawab bersama atau tanggung renteng direksi, termasuk komisaris.
Bahkan hingga muncul aturan larangan ekspor batu bara pada 1-31 Januari 2022, untuk memenuhi kebutuhan batu bara dalam negeri.
“Jika kemudian Menteri BUMN mengganti salah satu direksi atau merombak susunan Direksi PLN itu agak baik. Tapi menurut saya pimpinan tertingginya juga harus diberi punishment, termasuk komisarisnya harus diganti,”
Baca Juga:
Komisaris PLN Mundur Dari Jabatannya Usai Gabung TPN Ganjar-Mahfud
“Karena komisaris itu kan pengawas, atau mengawasi. Jika hal itu terjadi, artinya komisaris tidak menjalankan tugas pengawasannya dengan baik,”
“Dan kejadian itu menjadi tanggung jawab bersama, direksi dan komisaris. Kalau Menteri BUMN hanya memberhentikan direktur, maka prinsip tanggung renteng itu tidak jalan. Prinsip pengawasan tidak jalan,” papar Kardaya saat dihubungi Parlementaria, baru-baru ini.
Anggota Fraksi Partai Gerindra DPR RI ini menjelaskan, selama ini PLN dan pemerintah selalu mengatakan kelebihan pasokan (surplus) batu bara, bukan kekurangan stok.
Tapi nyatanya, sejak pekan lalu muncul berita bahwa stok batu bara PLN mengkhawatirkan. Dengan kemungkinan akan terjadi blackout atau pemadaman, apakah pemadaman sebagian atau seluruhnya.
Terkait dengan pelarangan ekspor batu bara yang sejak pekan lalu terus menjadi pemberitaan, menurut Kardaya sejatinya hal itu tidak langsung disamaratakan atau diberlakukan untuk seluruh perusahaan batu bara. M
enurut legislator daerah pemilihan (dapil) Jawa Barat VIII itu, aturan tersebut harus diberlakukan kepada perusahaan yang tidak menjalankan kewajiban domestic market obligation (DMO) sebesar 25 persen.
“Jangan sampai perusahaan yang baik (menjalankan kewajibannya) dengan perusahaan yang melanggar disamakan. Karena nantinya tidak mendidik dan tidak baik juga untuk iklim investasi ke depan,”
“Pasalnya perusahaan atau eksportir itu punya kontrak, kalau sudah kontrak tapi tidak dijalankan, tidak dipenuhi biasanya dia akan kena sanksi atas perjanjian dalam kontrak tersebut,”
“Tentu itu tidak adil bagi perusahaan yang sudah menjalankan kewajibannya tadi. Sementara bagi perusahaan yang nakal, menurut saya tidak hanya pelarangan ekspor saja, tapi juga cabut izin usahanya,” pungkas Kardaya. [tum]