Konsumenlistrik.com | Pengamat Ekonomi Energi UGM, Fahmy Radhi, menilai PT PL (persero) lambat dalam melakukan penyesuaian tarif listrik kepada pelanggan golongan 3.000 Volt Ampere (VA) ke atas.
Menurutnya, kenaikan tarif listrik pelanggan mampu seharusnya dilakukan mengingat kenaikan tarif listrik terakhir kali terjadi pada 2017.
Baca Juga:
Pengamat Sebut Sikap Prabowo Larang Pendukung Demo di MK Sudah Tepat
Dia mengatakan seharusnya PLN segera melakukan penyesuaian tarif saat tiga variabel utama seperti nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP), inflasi dan harga patokan batu bara mengalami perubahan.
"Cuma ini kelamaan kalau misalnya ada kenaikan harga seperti sekarang ini," kata Fahmy kepada melansir dari Katadata.co.id, Rabu (25/5).
Meski mengusulkan tarif listrik pelanggan mampu segera dinaikkan, Fahmy juga mengatakan pemerintah juga harus bergerak cepat menurunkannya kembali jika terjadi penguatan nilai rupiah dan turunnya ICP.
Baca Juga:
Penyebutan KKB Jadi OPM Disebut Pengamat Langkah Maju dari Pemerintah
Lebih lanjut, Fahmy mengusulkan penyesuaian tarif listrik secara progresif berdasarkan golongan.
Untuk golongan pelanggan 900 Voltampere (VA) ditetapkan sebesar Rp 1.444,70/kWh, kemudian naik 10% untuk golongan pelanggan di atas 900-2.200 VA menjadi Rp 1.589,17/kWh.
Untuk golongan di atas 2.200-6.600 VA tarif listrik bisa dinaikkan lagi 15% menjadi Rp 1.827,54/kWh, dan untuk golongan pelanggan di atas 6.600 VA naik lagi 20% menjadi Rp 2.193.05/kWh.
"Ada perbedaan tarif, misal di atas 6000 VA itu harus lebih tinggi tarifnya," ujarnya.
Selain itu, Fahmy juga mengatakan bahwa pemerintah juga lambat dalam pembayaran kompensasi kepada PLN.
Adanya kenaikan tarif listrik ini diharap menjadi salah satu opsi untuk mengurangi beban utang PLN yang saat ini sudah mencapai Rp 500 triliun.
Executive Vice President Komunikasi Korporat dan CSR PLN, Diah Ayu Permatasari, mengatakan PLN terus berkoordinasi dengan pemerintah terkait pembayaran kompensasi tersebut.
"Terkait dengan kompensasi, Pemerintah rencananya akan melakukan pembayaran pada tahun 2022 ini,” kata Diah, Rabu (25/5).
Pada kesempatan tersebut, Diah melaporkan penjualan listrik hingga April 2022 yang mencapai 88.803 Gigawatt hour (GWh). Angka ini mengalami pertumbuhan sebesar 8,62% dibanding periode yang sama pada tahun lalu sebesar 81.756 GWh dan lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I 2022 yaitu sebesar 5,01% year on year.
Sebelumnya pemerintah berencana menaikkan tarif listrik untuk pelanggan golongan 3.000 VA ke atas dan memastikan harga Pertalite tak berubah. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut, kebijakan ini untuk menjaga keadilan dan berbagi beban atas lonjakan belanja subsidi yang ditanggung keuangan negara.
"Kabinet sudah menyetujui untuk membagi beban dengan kelompok rumah tangga yang mampu yaitu direpresentasikan dengan mereka yang langganan listriknya di atas 3000 VA, boleh ada kenaikan tarif listrik, hanya di segmen itu ke atas," kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Kamis (19/5).
Sri Mulyani belum merincikan kapan jadwal dan berapa besaran kenaikan tarif listrik untuk golongan yang umumnya digunakan orang kaya dan industri tersebut.
Ia mengatakan perubahan tarif tersebut bertujuan agar beban dari kenaikan harga energi global tidak hanya ditanggung oleh keuangan negara sendiri. Peran APBN akan disiapkan untuk menjaga daya beli masyarakat yang membutuhkan.
Di sisi lain, pemerintah juga menambah anggaran untuk subsidi dan kompensasi energi tahun ini hingga Rp 349,9 triliun demi tidak menaikan harga BBM dan listrik. Belanja subsidi energi naik Rp 74,9 triliun, terutama untuk subsidi BBM sebesar Rp 71,8 triliun.
Kompensasi kepada Pertamina dan PLN juga bengkak tahun ini sebesar Rp 216,1 triliun, terdiri atas kompensasi BBM sebesar Rp 194,7 triliun dan komponesiasi listrik Rp 21,4 triliun. [tum]