Konsumenlistrik.com | Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan pihaknya sedang melakukan perbandingan dengan perusahaan-perusahaan listrik besar lainnya di Korea, Italia, Prancis, hingga Malaysia guna menghasilkan kebijakan yang tepat untuk holding dan subholding PLN.
Baca Juga:
ALPERKLINAS: SLO Listrik, Benteng Terakhir Keselamatan Ketenagalistrikan
Kementerian Badan Usaha Milik Negara menyebutkan transformasi PT PLN (Persero) melalui pembentukan holding dan subholding merupakan upaya pemerintah mempercepat program transisi energi dari fosil ke energi terbarukan di Indonesia.
"Dari benchmarking awal, confirm bahwa kami harus mempercepat pembangkit listrik menjadi sebuah subholding tersendiri karena banyak negara juga seperti itu. Lalu, di dalam subholding itu, seluruh power plant ini harus melakukan transisi besar-besaran ke energi terbarukan," ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (19/1/2022).
Indonesia setidaknya membutuhkan investasi energi terbarukan sebesar 25 miliar dolar AS atau setara Rp350 triliun per tahun dengan rincian 70 persen pendanaan dioptimalkan untuk pengembangan hydropower, panel surya, pembangkit listrik tenaga nuklir, dan battery energy storage system (BESS).
Baca Juga:
ALPERKLINAS Imbau Konsumen Percayakan Perbaikan dan Pemasangan Instalasi Listrik pada Ahlinya
Di sisi lain, kondisi PLN saat ini sedang terlilit utang hampir Rp500 triliun, sehingga sulit bagi perusahaan setrum negara tersebut menambah utang baru untuk mengembangkan energi terbarukan.
Oleh karena itu, pemerintah akan menugaskan subholding PLN untuk mencari sumber pendanaan lain, seperti melakukan aksi korporasi.
Erick menegaskan coorporate action itu tidak berarti menjual aset negara. Dia mencontohkan saat Kementerian BUMN mengonsolidasikan BRI, PNM, dan Pegadaian pada tahun lalu dan itu tidak ada istilahnya sebuah institusi atau kekuatan asing mengambil.
Aksi korporasi yang dilakukan pada lembaga keuangan itu justru membuat pasar kian optimis karena keberpihakan terhadap UMKM yang justru menjadi masa depan bagi para nasabah BRI, sehingga rights issue bisa mencapai Rp96 triliun, yang menjadi terbesar di Asia Tenggara, nomor dua di Asia, dan nomor tujuh di dunia.
Erick mengatakan strategi aksi korporasi menjadi kesempatan baru bagi PLN dalam mendapatkan pendanaan untuk mengembangkan energi terbarukan tanpa harus menambah utang perseroan.
"Tentu konsolidasi subholding power atau pembangkit ini nanti mengonsolidasikan yang semua ada hubungan dengan turunan power plant, salah satunya PLN Batubara, ya, bisa saja dimerger atau ditutup," jelasnya.
Erick menargetkan transformasi di tubuh PLN ini bisa rampung pada 2022. Dia mengatakan enam bulan sebelum akhir tahun akan diadakan virtual holding, seperti yang pernah dilakukan pemerintah kepada PT Pelindo dan PT Pertamina beberapa waktu lalu.
"Full transisi kami harapkan 2025, kalau bisa lebih cepat 2024," pungkas Erick.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menyambut baik dukungan pemerintah terhadap PLN untuk mengembangkan energi terbarukan melalui pembentukan holding dan subholding tersebut.
Dia menegaskan bahwa transformasi yang sekarang sedang dilakukan oleh PLN bukan untuk liberalisasi sektor ketenagalistrikan nasional.
Menurutnya, transformasi ini justru akan membuat PLN menjadi organisasi yang lincah dan dinamis, sehingga mampu mengubah tantangan berupa transisi energi, disrupsi teknologi, krisis energi, dan energi baru terbarukan (EBT) yang melimpah menjadi suatu kesempatan.
Sebelumnya, dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP26) di Glasgow, Inggris tahun lalu, pemerintah secara tegas menyampaikan komitmen kuat Indonesia untuk berperan menanggulangi perubahan iklim melalui perumusan sejumlah kebijakan terkhusus di sektor energi.
Saat ini, Indonesia sedang menempuh berbagai upaya demi mencapai target penurunan emisi maupun netralitas karbon yang ditargetkan akan tercapai pada 2060 atau lebih cepat.
Dalam menjalankan misi tersebut, pemerintah menekankan daya dukung transisi energi, sehingga membuka ruang pemanfaatan EBT yang optimal.
Guna menciptakan iklim investasi yang kondusif, pemerintah menyederhanakan dan merampingkan kerangka peraturan, salah satunya melalui pengesahan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN 2021-2030 dengan porsi energi baru terbarukan melebihi porsi energi fosil, yaitu sebesar 51,6 persen atau setara dengan 20,9 gigawatt.
Adapun mulai 2035, pemerintah menegaskan bahwa penambahan kapasitas pembangkit listrik hanya berasal dari sumber-sumber EBT. [tum]