KonsumenListrik.WAHANANEWS.CO – Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS) menyambut langkah pemerintah yang kini menempatkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sebagai opsi utama dalam kebijakan energi nasional.
ALPERKLINAS menilai perubahan paradigma ini harus dibarengi dengan strategi sosialisasi publik yang jauh lebih masif, tepat sasaran, dan bebas dari bias politik agar penerimaan masyarakat meningkat dan transformasi energi dapat terjadi tanpa gejolak.
Baca Juga:
Hadirkan Pemerataan Akses Listrik Bagi Seluruh Rakyat, ALPERKLINAS Dorong BUMN Lainnya dan Swasta Ikuti Program PLN Beri Bantuan 8000 Listrik Gratis pada HLN 2025
Ketua Umum ALPERKLINAS, KRT Tohom Purba, menegaskan bahwa keberanian pemerintah menempatkan PLTN sebagai solusi strategis adalah momentum besar dalam sejarah ketenagalistrikan Indonesia.
Namun ia mengingatkan, keberhasilan implementasi PLTN tidak hanya ditentukan kesiapan teknologi dan regulasi—melainkan juga kesiapan publik.
“Langkah pemerintah sudah tepat, tetapi trust masyarakat tidak muncul otomatis. Sosialisasi harus di-upgrade, diperluas, dan dijalankan berbasis data ilmiah, bukan sekadar kampanye seremonial,” ujar Tohom, Kamis (11/12/2025).
Baca Juga:
PLN Terbangkan Genset Tambahan ke Aceh untuk Percepat Pemulihan Listrik
Tohom menilai bahwa pergeseran kebijakan dalam PP Nomor 40 Tahun 2025 merupakan sinyal kuat bahwa Indonesia ingin mempercepat kemandirian dan ketahanan energi.
Kendati demikian, ia menggarisbawahi bahwa resistensi publik terhadap nuklir bisa muncul jika pemerintah tidak mengedepankan transparansi.
“Selain sebagai infrastruktur, PLTN ini juga proyek peradaban. Jika pemerintah tidak membangun komunikasi yang jujur dan konsisten, masyarakat akan mengisi ruang kosong itu dengan spekulasi. Akhirnya miskonsepsi berkembang tanpa filter,” tegasnya.
Ia juga mendorong agar materi sosialisasi memuat edukasi yang komprehensif mulai dari keamanan reaktor generasi terbaru, pengelolaan limbah, hingga dampak ekonomi bagi daerah dan rumah tangga.
Menurutnya, masyarakat harus dipastikan memahami bahwa PLTN modern telah berada pada tingkat keamanan yang jauh melampaui imajinasi publik selama ini.
“Jika publik diberi fakta bahwa small modular reactor memiliki tingkat keselamatan pasif yang sangat tinggi, persepsi akan berubah. Masyarakat kita bukan anti-nuklir. Mereka hanya butuh kejelasan,” tambah Tohom.
Lebih jauh, Tohom menyebut bahwa sinergi pusat-daerah harus menjadi pilar utama. Tanpa dukungan pemerintah daerah, sosialisasi tidak akan efektif.
“Pemerintah daerah harus menjadi frontliner. Jangan sampai PLTN dipandang sebagai proyek pusat yang hanya menitipkan risiko. Koordinasi harus konkret, bukan sekadar formalitas,” kata Tohom.
Ia menuturkan dengan ajakan agar pemerintah, industri, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil duduk bersama merumuskan arsitektur komunikasi publik mengenai nuklir.
“Transisi energi yang sehat membutuhkan literasi energi yang sehat pula. PLTN sebagai opsi utama hanya akan berhasil jika publik merasa menjadi bagian dari proses, bukan objek dari kebijakan,” tutupnya.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]