Pertama, integrasi data antara kementerian, BUMN, dan pemerintah daerah harus berbasis pada real-time socioeconomic profiling sehingga penerima subsidi benar-benar mencerminkan kondisi riil masyarakat.
Kedua, subsidi seharusnya tidak hanya tepat sasaran secara identitas, tetapi juga tepat manfaat, yakni mempertimbangkan pola konsumsi listrik, jenis penggunaan, hingga potensi penyalahgunaan.
Baca Juga:
Lapor ke Prabowo, Maruarar Sebut Penyaluran Rumah Subsidi Sudah 221.041 Unit
“Kebijakan subsidi masa depan harus adaptif. Tidak bisa lagi berbasis asumsi statis. Data harus bekerja untuk rakyat,” tegas Tohom.
Lebih jauh, ia menyebut bahwa transparansi dan akuntabilitas harus menjadi syarat utama.
Tohom mengingatkan bahwa publik harus bisa mengawasi bagaimana subsidi dihitung, disalurkan, dan dievaluasi.
Baca Juga:
Wamen ESDM Ungkap Penyebabnya Stok BBM di SPBU Swasta Kosong
“Konsumen harus diberi ruang untuk mengawasi. Tidak boleh lagi ada zona gelap dalam skema subsidi energi. Kalau transparan, kepercayaan publik naik, PLN juga lebih kuat secara kelembagaan,” paparnya.
Tohom menilai bahwa langkah pemerintah mendesain ulang mekanisme subsidi dalam dua tahun mendatang sudah tepat, namun ia mendorong agar prosesnya betul-betul jadi bagian dari transformasi menyeluruh sektor perlindungan konsumen.
“Kalau ini dijalankan serius, bukan hanya subsidi yang tepat sasaran, tapi kita juga bisa memperkuat fondasi energi berkeadilan bagi generasi yang akan datang,” tandasnya.