Namun demikian, dia mengatakan, lonjakan harga minyak memang akan berdampak pada Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik PLN. Pasalnya, tidak ada peraturan khusus terkait harga minyak untuk pembangkit listrik karena sudah dilepas ke harga pasar, tidak seperti dengan harga gas dan batu bara untuk pembangkit listrik yang masih dibatasi oleh pemerintah.
Dia menyebut, biaya listrik untuk Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) berbasis BBM memang terdampak atas lonjakan harga minyak ini, namun menurutnya tidak terlalu signifikan. Dia beralasan, pemakaian BBM pada bauran energi pembangkit listrik perseroan kini hanya tinggal sekitar 3,6%.
Baca Juga:
4 Tips Listrik Aman Saat Liburan
"Energy mix untuk penggunaan BBM sangat kecil hanya 3,6% dari total energy mix yang dikelola PLN, dampaknya nggak signifikan memengaruhi biaya dari produksi listrik PLN," ujarnya.
Sementara untuk harga batu bara dan gas untuk pembangkit listrik dalam negeri menurutnya masih diregulasi, yakni maksimal US$ 70 per ton untuk batu bara dan US$ 6 per MMBTU untuk gas. Dengan demikian, lonjakan harga batu bara dan gas di pasar internasional, menurutnya tidak berdampak pada kenaikan biaya pembangkitan listrik berbasis batu bara dan gas PLN.
"Karena dominan di batu bara, gas dan BBM hanya 3,6% dan berdampak nggak signifikan untuk biaya operasional PLN karena porsi energy mix untuk BBM kecil dan harga batu bara ada cap US$ 70 (per ton) dan harga gas diatur pemerintah. Ada kenaikan dampak dari BBM, tapi nggak signifikan," paparnya.
Baca Juga:
Dugaan Pencurian Listrik di Rest Area Tol Medan-Binjai: Misteri di Balik Pemutusan dan Penyambungan Ulang Arus Listrik
"Dampak ke kenaikan BPP bahwa kita untuk batu bara tidak terpengaruh dari eksternal, begitu juga gas. Yang terpengaruh dari BBM, tapi energy mix BBM kita kecil, jadi masih manageable ke energi primer, ke BPP kami," tuturnya.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, bauran batu bara pada pembangkit listrik nasional hingga November 2021 mencapai 65,93%, gas 17,48%, BBM 3,86%, air 6,78%, panas bumi 5,54%, biomassa 0.22%, dan energi baru terbarukan (EBT) lainnya 0,19%.
Sementara untuk tarif listrik pelanggan non subsidi atau tariff adjustment untuk tegangan rendah saat ini masih dipatok Rp 1.444,70 per kWh. Ini tarif terbaru per Oktober 2020 di mana pemerintah menurunkan Rp 22,5 per kWh, setelah sejak 2017 tidak mengalami perubahan kenaikan/ penurunan.