WahanaNews.co, Konsuemenlistrik, Jakarta – Tak cuma nikel, rupanya aluminium juga menjadi komponen terbesar pengembang baterai EV itu.
Indonesia memiliki ragam komoditas sebagai bahan baku pembuat baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV).
Baca Juga:
Kementerian ESDM Buka Suara, Soal Tudingan AS Ada Kerja Paksa di Industri Nikel RI
Sebagaimana diketahui, aluminium merupakan hasil nilai tambah dari hilirisasi bijih bauksit menjadi alumina.
Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum Danny Praditya, mengatakan kebutuhan aluminium dalam pembuatan baterai EV lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan nikel untuk tujuan yang sama.
"Jadi kalau selama ini kita lihat EV itu butuh nikel yang mencapai 18%. Ternyata komponen aluminium itu mencapai 19% lebih besar daripada nikel sendiri," jelasnya saat ditemui CNBC Indonesia di Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara, dilansir Rabu (10/1/2024).
Baca Juga:
Balai Kemenperin di Makassar Dukung Pemerataan Ekonomi Wilayah Timur
Ada kemungkinan, kata Danny, nikel akan tergantikan dengan aluminium dalam pengembangan teknologi baterai kendaraan listrik. "Mungkin nantinya nikel bisa tersubstitusi oleh perkembangan teknologi baterai yang lain," lanjutnya.
Danny juga mengatakan aluminium merupakan komoditas yang tidak bisa tergantikan dengan komoditas lain dalam peruntukkan pengembangan ekosistem baterai kendaraan listrik.
"Tapi aluminium itu dipakai untuk cassis, trim, sheet, untuk plat. Nah itu yang sebetulnya lebih tidak tersubstitusi. Sehingga kebutuhan aluminium kedepannya harusnya lebih firm dan lebih berpotensi," tambahnya.
Selain itu, secara global, Danny mengungkapkan aluminium bisa menjadi komoditas primadona dan memiliki masa depan yang cerah. "Kalau kita lihat secara global Aluminium ini menjadi salah satu primadona dan komoditas yang cukup cerah masa depannya karena banyak sekali dibutuhkan untuk tidak hanya yang konvensional," ungkapnya.
Hal itu lantaran aluminium juga banyak dibutuhkan untuk pembangunan, otomotif, kelistrikan, peralatan rumah tangga, hingga kebutuhan ekosistem energi baru terbarukan (EBT) dan ekosistem kendaraan listrik.
"Sekarang untuk construction, kemudian untuk otomotif, untuk electricity industry tapi juga sekarang home appliance, dan yang lebih besar lagi adalah untuk renewable energy, termasuk electric vehicle ecosystem," tandasnya.
[Redaktur: Alpredo Gultom]