KonsumenListrik.WAHANANEWS.CO – Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS) menilai bioenergi berbasis desa memiliki peluang besar untuk menjadi penopang utama ketenagalistrikan nasional di masa depan.
Organisasi ini memandang pemanfaatan biomassa bukan sekadar bagian dari transisi energi, tetapi juga instrumen strategis untuk memperkuat ekonomi desa dan ketahanan energi nasional.
Baca Juga:
Hasilkan Bioenergi Tinggi, Tanaman Sawit Paling Hemat Air
Ketua Umum ALPERKLINAS, KRT Tohom Purba, berpandangan bahwa Indonesia memiliki sumber daya yang melimpah, namun masih memerlukan penguatan ekosistem agar pengelolaannya dapat berjalan lebih adil dan berkelanjutan.
“Bioenergi desa berpotensi menjadi tulang punggung listrik nasional jika dikelola secara serius, terintegrasi, dan berpihak pada ekonomi rakyat,” ujarnya, Jumat (26/12/2025).
Menurut Tohom, desa memiliki posisi yang sangat strategis karena menjadi sumber utama limbah pertanian, perkebunan, dan kehutanan yang dapat diolah menjadi biomassa.
Baca Juga:
Kejar Target Bauran EBT 23 Persen, PLN dan Kementerian ESDM Gelar Seminar Bioenergi
“Selama ini desa hanya ditempatkan sebagai pemasok bahan mentah. Ke depan, desa harus menjadi pusat produksi energi, bukan sekadar pelengkap,” katanya.
ALPERKLINAS mendorong sinergi konkret antara PLN, sektor perbankan, dan koperasi desa agar potensi tersebut dapat dioptimalkan.
Tohom menilai PLN memiliki peran kunci sebagai penjamin pasar, sementara perbankan dibutuhkan untuk menyediakan skema pembiayaan yang masuk akal bagi koperasi dan BUMDes.
“Tanpa pembiayaan yang berpihak, koperasi desa akan sulit memenuhi standar volume dan kualitas biomassa yang dibutuhkan pembangkit,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa koperasi desa harus ditempatkan sebagai simpul utama dalam rantai pasok biomassa.
“Koperasi adalah instrumen ekonomi rakyat. Jika koperasi diperkuat, maka transisi energi tidak hanya menurunkan emisi, tetapi juga menaikkan pendapatan masyarakat desa,” kata Tohom.
Dari perspektif konsumen listrik, Tohom melihat bioenergi sebagai solusi untuk menekan biaya energi primer, terutama di wilayah terpencil yang selama ini bergantung pada BBM.
“Pasokan biomassa yang stabil akan membantu PLN menekan volatilitas biaya. Ujungnya adalah keandalan pasokan dan stabilitas tarif listrik bagi konsumen,” tegasnya.
Ia juga menilai pembangunan hub dan sub-hub biomassa di daerah dapat menciptakan efek berganda bagi perekonomian lokal.
“Ini bukan hanya soal energi, tapi soal lapangan kerja, nilai tambah hasil tani, dan pembangunan ekonomi hijau berbasis desa,” ujarnya.
Dalam kerangka kebijakan jangka panjang, Tohom mendorong pemerintah untuk menghadirkan regulasi yang memberikan kepastian bagi pelaku bioenergi desa.
“Harga biomassa, kontrak jangka panjang, dan posisi koperasi dalam rantai pasok harus diatur dengan jelas. Bioenergi jangan sampai dikuasai segelintir pihak,” katanya.
Menurut Tohom, jika sinergi lintas sektor dapat diwujudkan secara konsisten, bioenergi desa bukan hanya menjadi solusi transisi energi, tetapi juga simbol kemandirian nasional.
“Inilah momentum menjadikan energi terbarukan sebagai alat pemerataan, bukan sekadar target angka,” pungkasnya.
Sebelumnya, Direktur Biomassa PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI), Hokkop Situngkir, menyampaikan bahwa pemanfaatan bioenergi di Indonesia masih jauh dari potensi nasional yang mencapai 83,4 juta ton per tahun.
Ia menyebutkan bahwa penguatan ekosistem rantai pasok biomassa menjadi kunci agar bioenergi dapat menopang pembangkit listrik secara berkelanjutan, sekaligus mendukung agenda dekarbonisasi dan ketahanan energi nasional.
[Redaktur: Mega Puspita]