Konsumenlistrik.WAHANANEWS.CO, Jakarta - Puluhan bangunan liar terlihat bermunculan di kawasan hutan lindung di Jalan Nasional Sidikalang-Dolok Sanggul, Dusun IV, Desa Parbuluan, Kecamatan Parbuluan, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara.
Ironisnya, meskipun bangunan tersebut berdiri di kawasan ilegal, sebagian besar sudah dialiri listrik. Kondisi ini memicu keprihatinan dari berbagai pihak, termasuk Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS).
Baca Juga:
ALPERKLINAS Desak Pemda dan PLN Buat Regulasi Terkait Kabel Semrawut pada Tiang Listrik
Ketua Umum ALPERKLINAS, KRT Tohom Purba, mengkritisi ketidakjelasan aturan yang memungkinkan bangunan ilegal memperoleh akses listrik.
Menurutnya, hal ini menunjukkan lemahnya pengawasan serta kurang tegasnya persyaratan bagi calon pelanggan listrik.
“Kami mendesak pemerintah bersama PLN untuk segera memperbaiki aturan yang ada. Harus ada syarat tegas, seperti surat izin dari pemerintah setempat, sebelum listrik dapat disalurkan ke bangunan apa pun,” tegas Tohom, Minggu (19/1/2025).
Baca Juga:
ALPERKLINAS Minta Kementerian ESDM dan PLN Libatkan Semua Stakeholder dalam Penyusunan RUPTL 2025-2034
Bangunan liar tersebut berada dalam areal pengelolaan Kelompok Tani Hutan Wisata (KTHW) yang memiliki tanggung jawab berdasarkan SK Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor 6057 Tahun 2024.
Berdasarkan pantauan, bangunan-bangunan tersebut berdiri di atas tanah bekas hutan yang dirambah, bahkan kayu-kayu yang ditebang juga diduga dimanfaatkan untuk membuka lahan baru.
Tohom menilai bahwa kasus ini tidak hanya menjadi permasalahan lingkungan tetapi juga mencoreng upaya pemerintah dalam menjaga hutan lindung.
“Ini soal kredibilitas pemerintah dan PLN sebagai penyedia layanan publik. Jika listrik disalurkan tanpa persyaratan yang jelas, maka akan ada lebih banyak kasus seperti ini di masa depan. Kita harus menegakkan prinsip tata kelola yang baik,” katanya.
Lebih lanjut, Tohom juga mengkritisi sikap pasif pihak terkait yang seakan menunggu bola dalam menangani masalah ini.
“Jangan hanya menunggu keputusan pusat. PLN, pemerintah daerah, dan otoritas terkait harus mengambil langkah cepat untuk memastikan tidak ada lagi listrik yang disalurkan ke bangunan yang berdiri tanpa izin,” tambahnya.
Di sisi lain, Kepala Desa Parbuluan 1, Parihotan Sinaga, menyebutkan bahwa pendirian bangunan di kawasan hutan negara tersebut dilakukan tanpa pemberitahuan kepada pemerintah desa. Bahkan, KTHW sudah melaporkan kasus ini ke Polda Sumatera Utara, tetapi hingga kini belum ada tindakan konkret.
“Kementerian Kehutanan sudah mengecek lokasi pada Desember lalu, tetapi sampai sekarang masih belum ada perkembangan berarti,” ungkap Parihotan.
Tohom yang juga Penasihat DPP Persatuan Artis Batak Indonesia (PARBI), menyinggung pentingnya menjaga warisan budaya Batak yang erat kaitannya dengan kelestarian lingkungan.
“Orang Batak punya filosofi menghormati alam. Jika kawasan hutan dirusak, kita tidak hanya kehilangan lingkungan tetapi juga identitas budaya. Ini harus jadi perhatian kita bersama,” ucapnya dengan penuh penekanan.
Dengan situasi ini, ALPERKLINAS meminta agar pemerintah pusat, PLN, dan lembaga terkait segera duduk bersama untuk menyusun kebijakan yang lebih ketat.
“Kita tidak bisa membiarkan masalah ini berlarut-larut. Setiap kebijakan harus berpihak pada kepentingan lingkungan dan masyarakat luas,” tuturnya.
Menurutnya, masalah ini jadi pengingat penting bahwa pengelolaan listrik dan tata kelola hutan harus berjalan beriringan.
"Tanpa regulasi yang tegas, kasus serupa akan terus terjadi, membahayakan kelestarian hutan sekaligus melemahkan upaya pemberantasan bangunan ilegal," tutup Tohom.
[Redaktur: Mega Puspita]