Terkait aspek techno-commercial, Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) menyampaikan pendapat mereka bahwa sesuai perhitungan AESI, pembagian antara PLTD dengan pembangkit EBT adalah 50%, dimana pembangkit EBT beroperasi 50% dari jam operasional PLN.
Pembagian 50% ini memberikan penghematan biaya penyediaan listrik yang paling optimal bagi PLN. Di sisi pengembang, pembagian 50% memberikan keluasaan dalam merancang ukuran kapasitas PLTS dan battery untuk dapat memberikan performa terbaik dari pembangkit EBT.
Baca Juga:
Perseteruan Kadin Memanas Lagi, Pengurus Munaslub Disebut Langgar Aturan
PLN juga menyatakan, bahwa untuk mendorong kompetisi dan inovasi, pada proses pengadaan pembangkit EBT terkait De-Dieselisasi PLN tidak akan membatasi teknologi PLTS maupun battery. Dengan tidak dikuncinya teknologi, terutama battery, memberikan ruang bagi pengembang untuk membawa teknologi-teknologi baru tidak terbatas pada teknologi battery VLRA ataupun lithium, tetapi juga teknologi baru seperti vanadium redox flow battery yang berkembang menjadi salah satu alternatif bagi battery skala besar.
Sementara Direktur Mega Proyek dan Energi Baru Terbarukan PT PLN (Persero), Wiluyo Kusdwiharto berharap Kadin dapat menjembatani komunikasi dengan Kementrian Perindustrian sehingga ada fleksibilitas TKDN, khususnya dalam konteks program De-Dieselisasi. Terkait peraturan TKDN, baik PLN dan Kadin disampaikannya telah menyatakan bahwa industri nasional tidak boleh hanya menjadi penonton.
“Ketentuan TKDN yang ada saat ini tidak perlu dihilangkan, kita dukung industri nasional, tetapi PLN berharap Kadin dapat menjembatani diskusi dengan Kementrian Perindustrian sehingga ada fleksibilitas TKDN terutama dalam konteks program De-Dieselisasi ini,” demikian disampaikan Wiluyo Kusdwiharto dalam diskusi.
Baca Juga:
Kadin: Pemimpin Solo Masa Depan Harus Pahami Masalah untuk Kesejahteraan Masyarakat
Dalam kesempatan itu Yusrizki meyakinkan, Kadin mendukung industri nasional sekaligus harus realistis. Menurutnya saat ini pabrikan lokal mampu memberikan TKDN hingga 40%-42%, sementara jika mengikuti Peraturan Menteri Perindustrian, per 2022 ini komponen TKDN untuk panel surya harus 60%.
“Sebaiknya kita tidak berdebat apakah 40%, 50%, atau 60% secara regulasi, tetapi mari kita sesuaikan regulasi itu dengan realitas yang ada, lalu bersama-sama kit acari jalan untuk meningkatkan TKDN dan nilai tambah domestik. Program De-Dieselisasi ini memberikan jalan untuk pasar PLTS yang besar di Indonesia dan regulasi, tidak hanya ketenagalistrikan tetapi juga regulasi industri, sudah seharusnya mendukung dan memberikan jalan bagi program PLN,” tambah Yusrizki.
Dalam keterangan penutupnya, Yusrizki menekankan bahwa Program De-Dieselisasi PLN telah menjadi sorotan publik, tidak hanya domestik tetapi juga internasional.