KonsumenListrik.WAHANANEWS.CO - Pemerintah Indonesia kembali menunjukkan komitmennya terhadap transisi energi bersih melalui pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025–2034.
Dalam rencana strategis itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan bahwa dari total 69,5 gigawatt (GW) kapasitas pembangkit yang akan dibangun, sebanyak 42,6 GW atau 61 persen akan berasal dari energi baru dan terbarukan (EBT), dengan tenaga surya mengambil porsi terbesar, yakni 17,1 GW.
Baca Juga:
RI Targetkan 30 PLTN hingga 2060, ALPERKLINAS Soroti Transfer Teknologi dan Kompetensi SDM
Kebijakan tersebut mendapat sambutan positif dari Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS).
Lembaga ini menilai langkah pemerintah tersebut sebagai bentuk keberpihakan terhadap efisiensi dan kepentingan konsumen.
“Energi surya saat ini merupakan salah satu sumber listrik EBT yang paling murah dan cepat dibangun. Dengan memprioritaskan pembangkit tenaga surya, pemerintah bukan hanya mengakselerasi transisi energi, tetapi juga memberi harapan bagi masyarakat untuk mendapatkan listrik yang terjangkau dan berkelanjutan,” ujar Ketua Umum ALPERKLINAS, KRT Tohom Purba di Jakarta, Sabtu (14/6/2025).
Baca Juga:
Dampak Positifnya Sangat Luas, ALPERKLINAS Sebut Percepatan Regulasi Menentukan Kepastian Realisasi Energi Terbarukan
Tohom menjelaskan bahwa biaya produksi listrik dari pembangkit tenaga surya kini jauh lebih kompetitif dibandingkan dengan energi fosil.
Selain itu, instalasi PLTS skala besar maupun PLTS atap memungkinkan penetrasi energi bersih dilakukan tanpa menunggu waktu yang panjang atau investasi berat seperti pada pembangkit lainnya.
“Apresiasi tertinggi kami sampaikan, karena selain ramah lingkungan, PLTS juga mampu mendistribusikan manfaat ekonomi langsung kepada masyarakat, terutama di wilayah terpencil,” tambah Tohom.
Ia juga menyoroti rencana pembangunan PLTS terapung seperti di Cirata yang dinilai sangat strategis.
Menurutnya, pemanfaatan lahan air untuk energi surya adalah terobosan yang patut diperluas karena menghindari konflik penggunaan lahan darat dan dapat digabungkan dengan upaya konservasi air.
“Model seperti Cirata harus direplikasi. Potensi kita sangat besar. Bisa saja kita maksimalkan di waduk-waduk besar di Kalimantan, Sulawesi, bahkan Papua” tuturnya.
Tohom yang juga mantan Ketua ARDIN (Asosiasi Rekanan Pengadaan Barang dan Jasa Indonesia) ini menilai bahwa ke depan, pengadaan infrastruktur energi harus lebih transparan dan efisien agar manfaat EBT bisa dirasakan langsung oleh masyarakat.
Ia mengingatkan agar tidak ada permainan harga atau proyek yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
“Kalau proyek EBT ini dikawal dengan prinsip good governance, saya yakin akan banyak investor masuk dan biaya listrik nasional bisa ditekan drastis. Kita sudah terlalu lama disandera oleh harga listrik yang tidak efisien,” ujar Tohom.
Ia pun menambahkan bahwa program ini berpotensi besar membuka lapangan kerja baru di sektor manufaktur panel surya, konstruksi, hingga perawatan, bila ditata secara strategis dengan melibatkan industri dalam negeri.
“Jika dikaitkan dengan pemberdayaan UMKM dan teknologi lokal, energi surya akan menjadi alat pemberdayaan ekonomi rakyat, bukan sekadar proyek elite,” tegasnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jisman P. Hutajulu, mengatakan bahwa pengembangan pembangkit listrik tenaga surya dilakukan karena Indonesia memiliki potensi besar dengan intensitas panas matahari yang tinggi.
“Kita dianugerahi panas yang cukup di negara kita, sehingga kita dorong PLTS 17,1 GW, termasuk PLTS terapung seperti di Cirata, yang sudah terbukti sukses,” ujar Jisman dalam keterangan persnya, beberapa waktu lalu.
Berdasarkan dokumen RUPTL, dari total 69,5 GW penambahan kapasitas pembangkit hingga 2034, sebanyak 42,6 GW berasal dari EBT, 10,3 GW dari sistem penyimpanan energi, dan 16,6 GW dari pembangkit berbasis energi fosil.
[Redaktur: Mega Puspita]