Rencana pembentukan Badan Tenaga Nuklir RI (NEPIO) menurutnya adalah langkah baik, namun harus dibarengi dengan audit total atas kesiapan institusi pendidikan, lembaga riset, dan industri lokal dalam mendukung ekosistem PLTN nasional.
“Kalau bicara roadmap 2060, itu artinya kita bicara soal 30–35 tahun ke depan. Kalau SDM nuklir kita tidak mulai didesain sekarang, kita akan kehabisan waktu. Ini bukan sekadar soal pembangunan fisik, tapi transformasi pengetahuan bangsa,” ujarnya.
Baca Juga:
Dampak Positifnya Sangat Luas, ALPERKLINAS Sebut Percepatan Regulasi Menentukan Kepastian Realisasi Energi Terbarukan
Tohom yang juga Mantan Ketua Gabpeknas (Gabungan Pengusaha Kontraktor Nasional) ini mengingatkan bahwa proyek jangka panjang semacam ini rawan menjadi ladang permainan elite dan pengusaha rente, jika tidak diawasi dengan ketat dan transparan.
“Saya tahu betul bagaimana permainan di sektor kontraktor besar. Proyek semacam PLTN ini, yang nilainya bisa ratusan triliun, harus benar-benar dibuka secara transparan ke publik. Jangan sampai publik hanya jadi penonton dan korban kebijakan," katanya dengan nada serius.
Ia pun menyerukan agar Kementerian ESDM dan PLN menggandeng lembaga independen dalam setiap tahap pengembangan, mulai dari feasibility study hingga konstruksi dan pengawasan operasional.
Baca Juga:
China Akan Investasi 3 Triliun Bangun PLTA di Kaltim, ALPERKLINAS Sebut Komitmen Energi Bersih Semakin Jelas
“Aliansi kami siap mengawal program ini dari sisi perlindungan konsumen dan kepentingan nasional. Energi itu bukan komoditas biasa, ini menyangkut kedaulatan,” tegas Tohom.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi, menyatakan bahwa pembangunan PLTN akan dimulai dari dua lokasi di Sumatera dan Kalimantan, masing-masing berkapasitas 250 megawatt (MW).
Ia juga menjelaskan bahwa pemerintah tengah berkomunikasi lintas kementerian dan lembaga untuk pembentukan NEPIO, sebagai badan otoritatif nasional di sektor nuklir.