KonsumenListrik.WAHANANEWS.CO, Jakarta - Pemerintah Indonesia resmi memasukkan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 yang disahkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Dalam rencana jangka panjang yang termuat di Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), Indonesia bahkan menargetkan pembangunan lebih dari 30 unit reaktor PLTN hingga 2060, dengan total kapasitas mencapai 35 gigawatt (GW).
Baca Juga:
Dampak Positifnya Sangat Luas, ALPERKLINAS Sebut Percepatan Regulasi Menentukan Kepastian Realisasi Energi Terbarukan
Namun di tengah ambisi besar tersebut, Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS), menyoroti sejumlah tantangan mendasar, khususnya terkait transfer teknologi dan kesiapan sumber daya manusia (SDM) nasional dalam industri nuklir.
“PLTN memang solusi untuk base load energi bersih, tapi jangan sampai Indonesia hanya jadi pasar teknologi. Kita harus pastikan ada alih teknologi yang nyata dan terstruktur, bukan sekadar beli paket jadi,” ujar Ketua Umum Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS), KRT Tohom Purba, saat dimintai tanggapan atas RUPTL terbaru tersebut.
Menurutnya, penguasaan teknologi inti nuklir menjadi kunci kemandirian energi nasional.
Baca Juga:
China Akan Investasi 3 Triliun Bangun PLTA di Kaltim, ALPERKLINAS Sebut Komitmen Energi Bersih Semakin Jelas
Jika tidak disiapkan sejak sekarang, Indonesia akan selamanya bergantung pada negara pemasok dan tidak akan mampu membangun ekosistem industri nuklir dalam negeri yang kuat.
“Pemerintah harus menjamin bahwa pengembangan PLTN ini tidak menjadi proyek yang menguntungkan segelintir kontraktor asing. SDM kita harus dilibatkan secara aktif, dilatih, dan disertifikasi dengan standar internasional,” tegasnya.
Tohom juga mengkritisi kesiapan regulasi dan infrastruktur kelembagaan untuk mengelola program nuklir secara komprehensif.
Rencana pembentukan Badan Tenaga Nuklir RI (NEPIO) menurutnya adalah langkah baik, namun harus dibarengi dengan audit total atas kesiapan institusi pendidikan, lembaga riset, dan industri lokal dalam mendukung ekosistem PLTN nasional.
“Kalau bicara roadmap 2060, itu artinya kita bicara soal 30–35 tahun ke depan. Kalau SDM nuklir kita tidak mulai didesain sekarang, kita akan kehabisan waktu. Ini bukan sekadar soal pembangunan fisik, tapi transformasi pengetahuan bangsa,” ujarnya.
Tohom yang juga Mantan Ketua Gabpeknas (Gabungan Pengusaha Kontraktor Nasional) ini mengingatkan bahwa proyek jangka panjang semacam ini rawan menjadi ladang permainan elite dan pengusaha rente, jika tidak diawasi dengan ketat dan transparan.
“Saya tahu betul bagaimana permainan di sektor kontraktor besar. Proyek semacam PLTN ini, yang nilainya bisa ratusan triliun, harus benar-benar dibuka secara transparan ke publik. Jangan sampai publik hanya jadi penonton dan korban kebijakan," katanya dengan nada serius.
Ia pun menyerukan agar Kementerian ESDM dan PLN menggandeng lembaga independen dalam setiap tahap pengembangan, mulai dari feasibility study hingga konstruksi dan pengawasan operasional.
“Aliansi kami siap mengawal program ini dari sisi perlindungan konsumen dan kepentingan nasional. Energi itu bukan komoditas biasa, ini menyangkut kedaulatan,” tegas Tohom.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi, menyatakan bahwa pembangunan PLTN akan dimulai dari dua lokasi di Sumatera dan Kalimantan, masing-masing berkapasitas 250 megawatt (MW).
Ia juga menjelaskan bahwa pemerintah tengah berkomunikasi lintas kementerian dan lembaga untuk pembentukan NEPIO, sebagai badan otoritatif nasional di sektor nuklir.
“Kita butuh SDM yang tahu tentang nuklir, tahu bagaimana mengoperasikannya, tahu masalah safety, dan tahu bagaimana kalau nanti terjadi sesuatu. Semua harus mengacu pada standar IAEA,” ujar Eniya dalam Human Capital Summit 2025, 4 Juni lalu.
Dengan target ambisius 35 GW dari energi nuklir pada 2060, tantangan terbesar Indonesia bukan sekadar membangun reaktor, tetapi membangun kapasitas nasional, dari hulu ke hilir.
[Redaktur: Mega Puspita]