KonsumenListrik.WAHANANEWS.CO, Jakarta - Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS) buka suara terkait insiden padamnya listrik di hampir seluruh wilayah Bali pada 2 Mei 2025 lalu, dan meyakini hal itu bukan disebabkan kesalahan manusia (human error).
Melalui Ketua Umumnya, KRT Tohom Purba, ALPERKLINAS mengungkapkan bahwa publik tidak perlu terjebak pada asumsi yang menyesatkan. Menurutnya, sistem listrik Bali sejauh ini telah berjalan secara stabil dan efisien selama bertahun-tahun.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Sebut 'Power Wheeling' Momok Buat Konsumen Listrik di Indonesia
"Keandalan sistem kelistrikan Bali berada di tingkat tertinggi. Bahkan bisa kita sebut kelas dunia, karena sejak lama Bali memang dirancang sebagai etalase ketenagalistrikan nasional. Maka wajar bila saat terjadi gangguan, efeknya menghebohkan. Namun kita harus tetap objektif melihat akar masalahnya," ujar Tohom, Sabtu (10/5/2025).
Tohom menjelaskan bahwa gangguan listrik dalam sistem sekompleks milik Bali tidak serta-merta menandakan kegagalan sistem. Sebaliknya, kejadian ini justru menunjukkan betapa jarangnya gangguan terjadi di Pulau Dewata.
"Kalau hanya satu kali dalam beberapa tahun, itu bukan indikasi kelemahan. Justru memperlihatkan bahwa sistemnya sangat andal. Dalam sistem kelistrikan modern, tidak ada yang 100 persen bebas risiko, apalagi jika melibatkan transmisi kabel bawah laut lintas pulau," tegasnya.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Apresiasi Komitmen AZEC Dukung Pembiayaan Pembangunan Energi Bersih di Indonesia
Tohom yang juga CEO & Founder Wahana TV ini menambahkan bahwa pihaknya mengapresiasi respons cepat PLN dalam melakukan pemulihan sistem dan komunikasi kepada masyarakat.
Ia menilai langkah-langkah teknis yang diambil PLN sudah sesuai dengan prinsip-prinsip tanggap darurat kelistrikan.
“Yang penting adalah bagaimana sistem bisa pulih cepat, dan PLN sudah membuktikan itu. Bahkan cadangan daya seperti PLTG dan PLTD mampu diaktifkan tepat waktu. Ini artinya sistem daruratnya hidup dan berjalan,” katanya.
Lebih jauh, ia menyoroti pentingnya peran media dan masyarakat dalam membangun literasi energi secara lebih konstruktif. Menurutnya, terlalu banyak asumsi liar di media sosial yang justru mengganggu upaya pemulihan dan kepercayaan publik.
"Saya berharap jurnalisme energi bisa mengedepankan edukasi. Kita perlu membiasakan publik untuk memahami bahwa blackout bukan sekadar mati lampu, tapi peristiwa teknis yang butuh pemahaman sistemik," ujarnya.
[Redaktur: Mega Puspita]