KonsumenListrik.WAHANANEWS.CO – Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS) menyambut positif inisiatif pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) tanpa modal awal yang ditawarkan SUN Energy kepada sektor industri.
Skema ini dinilai sebagai terobosan strategis untuk melindungi konsumen listrik industri dari tekanan biaya energi yang terus meningkat, sekaligus mendorong efisiensi dan ketahanan pasokan listrik nasional.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Sebut Ada Banyak Inovasi Teknologi yang Bisa Digunakan Konsumen Listrik untuk Mendukung Energi Bersih
ALPERKLINAS memandang model pembiayaan tanpa belanja modal (zero investment) sebagai solusi konkret atas tantangan klasik adopsi energi terbarukan di sektor industri, yakni kebutuhan investasi awal yang besar.
Dengan mekanisme sewa atau Build-Own-Transfer (BOT), pelaku industri tetap dapat menikmati penghematan energi hingga 30–40 persen per tahun tanpa mengorbankan arus kas perusahaan.
Ketua Umum ALPERKLINAS, KRT Tohom Purba, menilai langkah SUN Energy sejalan dengan kepentingan konsumen listrik jangka panjang.
Baca Juga:
Mercedes-Benz Jadi Produsen Mobil Listrik Baru yang Gunakan Pengisian Daya Baterai NACS dari Tesla
Menurutnya, efisiensi energi tidak lagi sekadar isu lingkungan, tetapi telah menjadi instrumen perlindungan ekonomi bagi pelaku industri.
“Skema PLTS tanpa modal awal ini memindahkan beban investasi dari konsumen ke penyedia solusi. Bagi industri, ini sangat rasional karena mereka langsung menikmati listrik yang lebih murah tanpa risiko finansial di depan,” ujar Tohom, Sabtu (13/12/2025).
Tohom menegaskan, selama ini tarif listrik industri yang berada di kisaran Rp996–Rp1.114 per kWh membuat biaya energi menjadi salah satu komponen terbesar dalam struktur biaya produksi.
Ketika konsumsi listrik meningkat pada jam operasional siang hari, PLTS justru bekerja optimal dan menghasilkan listrik pada saat yang paling dibutuhkan.
“Bisa dikatakan, ini merupakan koreksi struktural terhadap pola konsumsi listrik industri. PLTS memotong biaya pada jam puncak, di saat listrik paling mahal,” katanya.
Ia juga menyoroti manfaat konversi belanja modal (capex) menjadi biaya operasional (opex) yang ditawarkan dalam skema zero investment.
Menurut Tohom, pendekatan ini membuat perencanaan keuangan industri lebih sehat dan adaptif terhadap fluktuasi pasar.
“Industri tidak perlu mengunci dana puluhan miliar rupiah untuk investasi PLTS. Energi dibayar sebagai layanan, lebih fleksibel dan transparan bagi konsumen,” jelasnya.
Lebih jauh, Tohom melihat adopsi PLTS sebagai langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan industri pada jaringan listrik konvensional berbasis fosil. Di tengah agenda transisi energi nasional, keterlibatan sektor industri menjadi faktor penentu keberhasilan.
“Kalau industri besar mulai mandiri dan efisien secara energi, beban sistem kelistrikan nasional ikut berkurang. Ini efek berantai yang positif, baik bagi konsumen, negara, maupun lingkungan,” tegasnya.
Tohom juga mengapresiasi fleksibilitas sistem yang ditawarkan SUN Energy, mulai dari PLTS on-grid, off-grid, hingga hybrid.
Menurutnya, pilihan ini memberi ruang bagi industri di berbagai wilayah, termasuk kawasan yang masih bergantung pada genset diesel, untuk beralih ke energi yang lebih bersih dan ekonomis.
“Pendekatan yang adaptif seperti ini penting agar transisi energi tidak bersifat elitis, tetapi benar-benar aplikatif di lapangan,” ujarnya.
Di sisi kebijakan, Tohom menilai model PLTS tanpa modal awal dapat menjadi katalis percepatan target energi terbarukan nasional.
Dengan biaya teknologi surya yang terus menurun dan kebutuhan energi industri yang meningkat, sinergi antara penyedia solusi dan konsumen listrik harus diperkuat.
“Perlindungan konsumen listrik hari ini bukan hanya soal tarif, tetapi soal memberi akses pada teknologi yang lebih efisien dan berkelanjutan,” pungkasnya.
[Redaktur: Mega Puspita]