KonsumenListrik.WAHANANEWS.CO – Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS) mendorong perusahaan-perusahaan pembangkit listrik di Indonesia untuk tidak semata berfokus pada aspek produksi energi dan keuntungan bisnis, tetapi juga mengambil peran aktif dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat di sekitar wilayah proyek.
Menurut ALPERKLINAS, praktik tanggung jawab sosial yang terintegrasi dan berkelanjutan merupakan kunci membangun kepercayaan publik sekaligus memastikan keberlangsungan proyek energi jangka panjang.
Baca Juga:
Ekosistem Lingkungan Jadi Sumber Energi Listrik, ALPERKLINAS Apresiasi PLN Nusantara Power Tanam Pohon untuk Reforestasi Berkelanjutan
ALPERKLINAS menilai, pengalaman perusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) A Vuong di Vietnam dapat menjadi rujukan penting.
Perusahaan tersebut selama bertahun-tahun konsisten menjalankan program kesejahteraan sosial, mulai dari pembangunan rumah layak huni, fasilitas sanitasi, layanan kesehatan gratis, dukungan pendidikan, hingga penguatan mata pencaharian berkelanjutan bagi warga di sekitar proyek.
Pendekatan ini dinilai menunjukkan bahwa sektor energi dapat tumbuh selaras dengan kepentingan sosial dan lingkungan.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Desak Pemerintah Lebih Memperbesar Alokasi Anggaran untuk Listrik Desa Kategori 3T
Ketua Umum ALPERKLINAS, KRT Tohom Purba, menegaskan bahwa pengelolaan pembangkit listrik modern menuntut paradigma baru: energi tidak boleh dipisahkan dari kesejahteraan masyarakat.
Ia menyebut model yang dijalankan PLTA A Vuong mencerminkan praktik bisnis visioner yang memahami energi sebagai bagian dari ekosistem sosial.
“Perusahaan pembangkit listrik harus melihat masyarakat sekitar proyek sebagai mitra strategis, bukan sekadar objek dampak pembangunan. Ketika perusahaan hadir dalam kehidupan warga seperti membangun rumah, menjaga kesehatan, mendukung pendidikan, hingga membuka sumber penghidupan, maka keberlanjutan proyek energi akan terjaga secara alami,” ujar Tohom.
Ia menambahkan, pendekatan seperti ini juga relevan bagi Indonesia yang tengah mendorong transisi energi dan pembangunan pembangkit berbasis energi terbarukan.
Menurutnya, penerimaan sosial (social acceptance) menjadi faktor krusial dalam keberhasilan proyek-proyek ketenagalistrikan, khususnya di wilayah pedesaan dan kawasan terpencil.
“Listrik dibangun bukan hanya untuk mengaliri jaringan, tetapi untuk menggerakkan kehidupan. Jika perusahaan listrik Indonesia meniru model Vietnam ini, kita tidak hanya bicara soal kilowatt dan megawatt, tetapi juga soal martabat manusia, keadilan sosial, dan ekonomi lokal yang tumbuh,” katanya, Kamis (25/12/2025).
Tohom juga menilai, program pemberdayaan ekonomi seperti pengembangan perikanan di waduk, budidaya tanaman bernilai ekonomi, serta respons cepat terhadap bencana, merupakan contoh konkret bagaimana perusahaan energi dapat menjadi jangkar pembangunan wilayah.
“Inilah bentuk tanggung jawab sosial yang substantif, bukan sekadar seremonial,” tegasnya.
Ia berharap pemerintah dan regulator turut mendorong praktik serupa melalui kebijakan dan insentif yang menempatkan kepentingan konsumen serta masyarakat sekitar proyek sebagai bagian integral dari tata kelola ketenagalistrikan nasional.
[Redaktur: Mega Puspita]