Energynews.id | Ketua Umum (Ketum) Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) Filda C. Yusgiantoro, mengatakan, transisi energi membutuhkan pembaruan teknologi, dana, dan human capital (sumber daya manusia/SDM) berdaya saing tinggi.
Indonesia memerlukan pembiayaan sebagai investasi sebesar US$ 1 triliun untuk menuju energi baru dan terbarukan (EBT) pada tahun 2060 mendatang.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
Biaya transisi energi tersebut diperkirakan akan meningkat seiring diterapkannya pensiun dini untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara.
"Semua sektor didorong untuk melakukan transisi, tidak terkecuali industri energi. Selain menyertakan pembaruan teknologi, transisi industri juga tidak lepas dari kesiapan sumber daya manusia yang ada," kata Filda pada diskusi Ensight (Energy Insight) bertajuk "Green Human Capital: Milenial dan Gen Z untuk Transisi Energi yang Berkeadilan" di Jakarta, Sabtu, (15/10/2022).
Diskusi yang dipandu peneliti PYC, Michael Suryaprawira menghadirkan pembicara Sekretaris Jenderal Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) I Made Aditya Suryawidya, Manajer Program Gerakan Inisiatif Listrik Tenaga Surya (GERILYA) Kementerian ESDM Khoiria Oktaviani, dan Business Development PT Sumber Energi Surya Nusantara (SESNA) Anisa Isabella Agustina. Hadir pula, Menteri ESDM Kabinet Indonesia Bersatu sekaligus pendiri PYC, Purnomo Yusgiantoro dan Ketua Dewan Pengawas PYC, Inka B. Yusgiantoro.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
Filda mengatakan, saat ini transisi energi memprioritaskan sektor lingkungan dan energi terbarukan untuk memenuhi konsumsi energi ke depan, serta mewujudkan komitmen Indonesia mengurangi emisi, baik secara global maupun nasional.
Transisi energi, lanjutnya, juga membutuhkan keterlibatan kaum milenial dan Gen Z sebagai human capital mumpuni. Sebab keberadaan human capital merupakan bagian dari sebuah sistem organisasi.
Kemampuan human capital, lanjutnya, berperan penting dalam meningkatkan nilai-nilai usaha dan produktivitas perusahaan yang diperhitungkan dalam agenda transisi energi.
“Untuk itu, kolaborasi dari top-down dan bottom-up sangat dibutuhkan untuk mendukung peningkatan daya saing human capital dalam melakukan transisi energi,” kata Filda.
Pemerintah telah meluncurkan Transisi Energi G-20 untuk menjembatani serta mendorong negara-negara maju dan negara-negara berkembang mempercepat peralihan energi fosil ke energi bersih.
Program Transisi Energi bersih ini dibuat dalam satu sistem energi global berkelanjutan sehingga menjadi daya ungkit untuk memperkuat sistem energi global.
Ada tiga faktor penunjang transisi energi, yaitu akses, teknologi, dan pendanaan. Dari ketiga fokus itu, G-20 diharapkan dapat mencapai kesepakatan bersama dalam mempercepat transisi energi global, sekaligus memperkuat sistem energi global berkelanjutan, tanpa mengesampingkan nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan. Data menunjukkan, negara-negara anggota G-20 berkontribusi sekitar 75% dari permintaan energi global. [jat]