“Pada intinya ini yang akan dikerjakan oleh pemerintah. Ini yang akan jadi rezim baru dari penyelenggaraan nilai ekonomi karbon di Indonesia. Ini adalah era baru karena kita mencoba untuk meningkatkan kinerja pencapaian target emsisi 2030,” ungkap Joko.
Pengenaan pajak karbon ini bukan semata mata terfokus pada upaya pemerintah mendulang pendapatan. Namun lebih dari itu, yakni agar pengembangan EBT di tanah air didorong lebih kokoh.
Baca Juga:
Pemkab Batang Apresiasi Kontribusi PT Bhimasena Power dalam Layanan Kesehatan dan Pembangunan
“Jangan lupa mekanismenya kan bisa insentif dan disinsentif kami yakin ini bsia jadi pendorong berkembanganya EBT di Indonesia,” ujarnya.
Ketentuan pajak karbon berlaku tarif lebih tinggi atau sama dengan harga di pasaran, tetapi ditetapkan juga tarif minimum sebesar Rp 30 per Kg CO2 atau Rp 30.000 per ton CO2 ekuivalen.
Pajak akan diberlakukan bagi PLTU yang menghasilkan emisi melebihi cap atau batas atas yang ditetapkan.
Baca Juga:
Usut Tuntas Skandal Proyek PLTU 1 Kalbar, ALPERKLINAS: Jangan Sampai Pasokan Listrik ke Konsumen Terhambat
Implementasi pajak karbon akan dimulai 1 April 2022 secara terbatas hanya ke sektor PLTU batu bara. Penerapannya nanti akan memakai skema cap and tax.
Adapun peta jalan pajak karbon nantinya berlaku dua skema, yakni skema perdagangan karbon (cap and trade) dan skema pajak karbon (cap and tax).
Pada skema perdagangan karbon, entitas yang menghasilkan emisi lebih dari cap diharuskan membeli sertifikat izin emisi (SIE) entitas lain yang emisinya di bawah cap. Selain itu, entitas juga dapat membeli sertifikat penurunan emisi (SPE).