Energynews.id | Pemerintah bakal memberlakukan pajak karbon untuk sektor transportasi, bangunan, dan sektor berbasis lahan pada 2025 mendatang.
Ini setelah pajak karbon dipastikan akan berlaku secara bertahap mulai April tahun ini secara terbatas pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.
Baca Juga:
Pemkab Batang Apresiasi Kontribusi PT Bhimasena Power dalam Layanan Kesehatan dan Pembangunan
Joko Tri Haryanto, Peneliti Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, mengatakan pemerintah telah merancang peta jalan mengenai pengenaan pajak karbon.
Pajak ini sendiri akan dimulai pada 2022 secara bergiliran hingga 2024.
“Setelah 2024, 2025 akan dimulai pungutan atas pajak karbon untuk sektor yang lain, misalnya sektor transportasi, bangunan, sektor berbasis lahan,” kata Joko dalam Webinar Investasi Energi Baru dan Terbarukan dalam Pengembangan Biomassa di Indonesia, Rabu (16/2).
Baca Juga:
Usut Tuntas Skandal Proyek PLTU 1 Kalbar, ALPERKLINAS: Jangan Sampai Pasokan Listrik ke Konsumen Terhambat
Joko menjelaskan setiap sektor bebas untuk memilih instrumen yang akan dipilih.
Misalnya, untuk sektor berbasis lahan yang lebih memilih pembayaran berbasis kinerja (result-based payment/RBP) dibandingkan masuk dalam instrumen perdagangan karbon.
Kemudian bisa juga sektor industri yang ingin lebih memilih instrumen pajak karbon. Menurut dia skema pungutan pajak tersebut akan jadi skema terbaru dalam upaya menekan emisi.
“Pada intinya ini yang akan dikerjakan oleh pemerintah. Ini yang akan jadi rezim baru dari penyelenggaraan nilai ekonomi karbon di Indonesia. Ini adalah era baru karena kita mencoba untuk meningkatkan kinerja pencapaian target emsisi 2030,” ungkap Joko.
Pengenaan pajak karbon ini bukan semata mata terfokus pada upaya pemerintah mendulang pendapatan. Namun lebih dari itu, yakni agar pengembangan EBT di tanah air didorong lebih kokoh.
“Jangan lupa mekanismenya kan bisa insentif dan disinsentif kami yakin ini bsia jadi pendorong berkembanganya EBT di Indonesia,” ujarnya.
Ketentuan pajak karbon berlaku tarif lebih tinggi atau sama dengan harga di pasaran, tetapi ditetapkan juga tarif minimum sebesar Rp 30 per Kg CO2 atau Rp 30.000 per ton CO2 ekuivalen.
Pajak akan diberlakukan bagi PLTU yang menghasilkan emisi melebihi cap atau batas atas yang ditetapkan.
Implementasi pajak karbon akan dimulai 1 April 2022 secara terbatas hanya ke sektor PLTU batu bara. Penerapannya nanti akan memakai skema cap and tax.
Adapun peta jalan pajak karbon nantinya berlaku dua skema, yakni skema perdagangan karbon (cap and trade) dan skema pajak karbon (cap and tax).
Pada skema perdagangan karbon, entitas yang menghasilkan emisi lebih dari cap diharuskan membeli sertifikat izin emisi (SIE) entitas lain yang emisinya di bawah cap. Selain itu, entitas juga dapat membeli sertifikat penurunan emisi (SPE).
Namun jika entitas tersebut tidak dapat membeli SIE atau SPE secara penuh atas kelebihan emisi yang dihasilkan, maka berlaku skema cap and tax, yakni sisa emisi yang melebihi cap akan dikenakan pajak karbon. [jat]