“Kami melihat layout pabriknya terlalu dekat dengan masyarakat, akhirnya kami bersedia memindahkan lokasi pabrik. Tentu dalam pembangunan pabrik kami harus menjaga emisinya, debu, dan keributan yang dihasilkan. Maka dari itu, studi kelayakan harus direvisi untuk memindahkan posisi pabrik, ujarnya
Sementara itu, Dadan Kusdiana, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM mengungkapkan pemerintah telah menyusun peta jalan transisi energi menuju karbon netral yang diproyeksikan mencapai titik optimal pada 2060.
Baca Juga:
Pertumbuhan Tinggi, Dirjen ESDM: Masalah Over Supply Listrik di Jawa-Bali Akan Teratasi
“Kita memang targetkan dekarbonisasi energi menuju Net Zero Emission 2060 atau bahkan lebih cepat tercapai. Bauran EBT sudah secara penuh pada saat itu tercapai. Penurunan emisi 1.562 juta ton CO2,” tegasnya.
Pada sisi bauran EBT, Dadan menilai ada sejumlah upaya percepatan yang dilakukan pemerintah mulai dari penyelesaian Rancangan Pepres Harga EBT, penerapan Permen ESDM PLTS Atap, lalu mandatori bahan bakar nabati, pemberian insentif fiskal dan non fiskal untuk EBT.
“Kemudian kemudahan perizinan berusaha segmen EBT, hingga mendorong demand ke energi listrik pada sejumlah aktivitas primer bahkan pada skala personal di masyarakat,” ungkap Dadan.
Baca Juga:
Tarif Listrik Triwulan IV Tidak Naik, PLN Jaga Pelayanan Listrik Tetap Andal
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mengungkapkan transisi energi berbasis fosil menjadi mutlak dilakukan agar ambisi nol emisi karbon (net zero emission) mampu menjadi keniscayaan dengan estimasi terwujud pada 2050 mendatang.
Langkah yang kerap disebut dekarbonisasi itu, lanjut dia, mesti selaras dengan target Persetujuan Paris yaitu membatasi kenaikan suhu bumi 1,5 derajat Celcius.
“Jika tidak ada upaya dekarbonisasi yang terencana maka diproyeksikan sektor energi akan menjadi penghasil emisi terbesar di Indonesia pada tahun 2030 dan mempersulit pencapaian target Persetujuan Paris”, jelas Fabby.