Energynews.id | Akselerasi penggunaan energi bersih menjadi poin fundamental dalam memastikan masa depan perekonomian serta sektor lainnya tetap terjaga dalam konteks keberlanjutan.
Hal itu juga yang menjadi salah satu alasan PT Vale Indonesia Tbk (INCO) untuk melakukan transisi energi bahan baku energi smelter yang bakal dibangun di Bahodopi, Sulawesi Tengah.
Baca Juga:
Pertumbuhan Tinggi, Dirjen ESDM: Masalah Over Supply Listrik di Jawa-Bali Akan Teratasi
Febriany Febri, Presiden Direktur Vale, menyatakan negoisasi panjang harus dilalui Vale untuk meyakinkan mitra pembangunan smelter menggunakan gas sebagai pemasok energi listrik smelter.
“Untuk rencana smelter baru di Sulawesi Tengah, kami bersama dengan partner dari Tiongkok telah berkomitmen menggunakan LNG bukan batu bara untuk pembangkit listrik disana,” ujar Febriany (22/3).
Khusus untuk proyek tersebut, dia mengungkapkan terdapat proses yang butuh hingga sembilan bulan negoisasi dengan partner perseroan beralih ke LNG.
Baca Juga:
Tarif Listrik Triwulan IV Tidak Naik, PLN Jaga Pelayanan Listrik Tetap Andal
“Awalnya bagi mereka tidak masuk diakal, pindah ke LNG akan mengurangi NPV project kami sebesar $200 juta, padahal secara regulasi tidak ada yg mengharuskan PT Vale saat ini untuk beralih, kenapa harus memilih jalan yang lebih susah dan mahal. Jawaban kami, hal ini adalah pilihan bukan paksaan,” kata Febriany.
Proyek smelter Vale sendiri berpotensi akan molor menyusul akan tertundanya keputusan investasi final atawa final investment decision (FID) menjadi April 2022 dari yang sebelumnya direncanakan di awal tahun ini.
Febriany menjelaskan, salah satu faktor FID yang mundur dari jadwal karena lokasi pabrik smelter yang terlalu dekat dengan pemukiman masyarakat.
“Kami melihat layout pabriknya terlalu dekat dengan masyarakat, akhirnya kami bersedia memindahkan lokasi pabrik. Tentu dalam pembangunan pabrik kami harus menjaga emisinya, debu, dan keributan yang dihasilkan. Maka dari itu, studi kelayakan harus direvisi untuk memindahkan posisi pabrik, ujarnya
Sementara itu, Dadan Kusdiana, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM mengungkapkan pemerintah telah menyusun peta jalan transisi energi menuju karbon netral yang diproyeksikan mencapai titik optimal pada 2060.
“Kita memang targetkan dekarbonisasi energi menuju Net Zero Emission 2060 atau bahkan lebih cepat tercapai. Bauran EBT sudah secara penuh pada saat itu tercapai. Penurunan emisi 1.562 juta ton CO2,” tegasnya.
Pada sisi bauran EBT, Dadan menilai ada sejumlah upaya percepatan yang dilakukan pemerintah mulai dari penyelesaian Rancangan Pepres Harga EBT, penerapan Permen ESDM PLTS Atap, lalu mandatori bahan bakar nabati, pemberian insentif fiskal dan non fiskal untuk EBT.
“Kemudian kemudahan perizinan berusaha segmen EBT, hingga mendorong demand ke energi listrik pada sejumlah aktivitas primer bahkan pada skala personal di masyarakat,” ungkap Dadan.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mengungkapkan transisi energi berbasis fosil menjadi mutlak dilakukan agar ambisi nol emisi karbon (net zero emission) mampu menjadi keniscayaan dengan estimasi terwujud pada 2050 mendatang.
Langkah yang kerap disebut dekarbonisasi itu, lanjut dia, mesti selaras dengan target Persetujuan Paris yaitu membatasi kenaikan suhu bumi 1,5 derajat Celcius.
“Jika tidak ada upaya dekarbonisasi yang terencana maka diproyeksikan sektor energi akan menjadi penghasil emisi terbesar di Indonesia pada tahun 2030 dan mempersulit pencapaian target Persetujuan Paris”, jelas Fabby.
Menurutnya, di 2022 ini pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan harus berusaha keras meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan dan mendorong efisiensi energi di bangunan dan industri.
Pada 2025, pemerintah harus mencapai target 23% bauran energi terbarukan dan setelah itu harus mengejar emisi sektor energi mencapai puncaknya sebelum 2030.
“Sehingga memang, harus ada upaya akseleratif transisi ke energi bersih, dekarbonisasi. Untuk jangka panjang, ini memberikan efek berganda terhadap competitiveness perekenomian kita jadi lebih optimal,” tegasnya.
Pada sisi lain, Fabby memandang Sulawesi Selatan menjadi salah satu daerah di Tanah Air yang sudah berada pada tatanan transisi energi dengan bauran EBT yang cukup signifikan.
Itu seiring dengan pembangunan pembangkit-pembangkit berbasis EBT seperti tenaga bayu (angin), air hingga surya, di mana bauran energi bersih sudah berada pada level sekitar 30% dari daya terpasang di Sulsel.
Hal tersebut juga dinilai tidak lepas dari kolaborasi seluruh elemen, yang mulai relatif agresif menerapkan langkah dekarbonisasi pada proses produksi, diantaranya adalah PT Vale Indonesia Tbk.
“Ini saya rasa sudah sangat baguslah, PT Vale sendiri sudah memiliki peta jalan dekarbonisasi 33% untuk 2030 dan menargetkan sudah net zero di 2050. Tetapi untuk tahapan ke 2050, tentu masih perlu ada assesment lebih lanjut,” jelas Fabby. [jat]