Menurut Fahmy, sebelum kerjasama Indonesia dan Rusia direalisasikan, Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Energi Nasional (DEN) harus mengubah Kebijakan Energi Nasional (KEN), yang selama ini menempatkan energi nuklir sebagai alternatif terakhir.
“KEN itu harus diubah menjadikan PLTN sebagai energi prioritas. Selain itu, Pemerintah perlu melakukan kampanye publik untuk meningkatkan tingkat penerimaan masyarakat (public acceptances rate) terhadap penggunaan PLTN,” ujar Fahmy.
Baca Juga:
Vladimir Putin Sampaikan Belasungkawa ke Jokowi Terkait Insiden Gempa Cianjur
Selama ini, kata Fahmy, tingkat penerimaan masyarakat terhadap PLTN masih sangat rendah. Salah satunya disebabkan oleh trauma kecelakaan reaktor nuklir di beberapa negara, di antaranya Jepang, Rusia dan Ukrania.
Namun, kemajuan teknologi reaktor nuklir generasi terbaru, yang digunakan oleh Rosatom, dapat mencegah terjadinya kecelakaan nuklir hingga mencapai nol persen (zero accident).
Fahmy menekankan, tanpa mengembangkan PLTN, sangat sulit bagi Indonesia untuk mencapai zero carbon pada 2060.
Baca Juga:
Rusia Tawarkan Ini Jika Eropa Tak Ingin 'Jadi Es' di Musim Dingin
Sudah saatnya bagi Indonesia untuk secara serius dan terus-menerus mengembangkan PLTN dengan mempertimbangkan tawaran kerja sama dari Presiden Vladimir Putin.
“Barangkali Kerjasama tersebut akan dapat lebih memperlancar tindak lanjut realisasi usulan pengehentian perang Rusia dan Ukrania, yang diusulkan oleh Indonesia,” ujar Fahmy. [jat]