Energynews.id | Pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap oleh industri ternyata masih menemui sejumlah kendala.
Padahal pemerintah terus menerus menjanjikan berbagai kemudahan namun dalam praktiknya di lapangan tidak seperti yang diharapkan.
Baca Juga:
Pegang Indikasi Kuota Awal Pasang, Kementerian ESDM dan PLN Antisipasi Masuknya Daya Listrik Intermiten dari PLTS Atap
Kendala tersebut dihadapi PT Mitsubishi Motors Krama Yudha Sales Indonesia (MMKSI) yang menyatakan adanya sejumlah tambahan persyaratan yang diminta PT PLN (Persero) kepada perusahaan.
Diantoro Dendi, Corporate Strategy General Manager Mitsubishi Motors Krama Yudha Indonesia (MMKI), mengatakan semua aspek teknis yang diminta PLN sudah dipenuhi.
Namun pada 26 Januari 2022, PLN mengajukan permohonan yang bertentangan dengan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 26 Tahun 2021, yakni persetujuan PLTS Atap untuk MMKI dengan kapasitas maksimum 1,75 MWp.
Baca Juga:
Pasang PLTS Atap Ada Sistem Kuota, Ini Tujuannya
Padahal dalam Permen ESDM No. 26 Tahun 2021 pelanggan dapat memasang PLTS Atap hingga 100% ukuran sambungan ke PLN.
PLN juga meminta adanya pembatasan pengoperasian PLTS Atap pada hari Sabtu, Minggu, dan libur nasional. Padahal dalam aturan terbaru, tidak ada pembatasan operasi.
PLN juga meminta bahwa 65% listrik yang diekspor dari MMKI akan diperhitungkan untuk mengurangi tagihan listrik MMKI.
Sedangkan dalam aturan baru, 100% listrik yang diekspor dari MMKI dapat diperhitungkan untuk mengurangi tagihan listrik dari PLN.
“Jadi sampai hari ini kami belum menjawab draft proposal dari PLN, sampai kita mendapat kejelasan. Sampai hari ini belum terjadi titik temu,” kata Diantoro dalam Media Briefing Asosiasi Energi Surya Indonesia, Selasa (15/2).
Fabby Tumiwa, Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI),menuturkan sepanjang 2021, terdapat laporan berbagai kendala untuk mendapatkan perizinan penyambungan PLTS Atap untuk client C&l.
Ada 14 pengaduan yang masuk pada periode November-Desember 2021. Adapun pengaduan terbesar berasal dari Jawa Barat.
“Dari laporan yang diterima, terdapat tiga yang menjadi masalah,” kata Fabby.
Pertama, adanya permintaan dokumentasi atau kajian tambahan saat pengajuan perizinan.
Kedua, proses perizinan cukup lama, lebih dari 15 hari.
Ketiga, permohonan izin melalui OSS mengharuskan pemohon untuk memiliki KBLI tertentu.
“Jadi ada masalah kekacauan yang kita lihat di Jabar. Sepertinya Dinas Jabar kurang paham regulasi dan gubernur nya kurang melihat lebih dalam ada persoalan ini,” kata Fabby. [jat]