"Kalau begitu, apa skenario yang mungkin terjadi? Banyak negara mulai berpikir untuk berpaling menggunakan kombinasi dari batu bara, gas dan minyak dalam rangka mencari soulsi termurah," tulisnya.
Dengan harga LNG spot yang tinggi, maka pelaku usaha kembali menggunakan minyak karena bisa lebih hemat (gas-to-oil switching).
Baca Juga:
Kebut Elektrifikasi dan EBT, PLN Kantongi Pendanaan US$ 581,5 Juta dari Bank Dunia
Atau, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara kembali mendapat tempat untuk dioperasikan.
"Sebuah ironi ditengah maraknya usaha untuk meninggalkan energi fosil, justru skenario yang ada memaksa banyak negara untuk beralih ke energi fosil. Keterjangkauan biaya (affordability) menjadi salah kunci menuju Net Zero Emission," singgungnya.
Pengurangan Investasi
Baca Juga:
Kebut Elektrifikasi dan EBT, PLN Kantongi Pendanaan US$ 581,5 Juta dari Bank Dunia
Selain itu, Arcandra juga mencermati adanya pengurangan investasi di energi fosil, terutama untuk komoditas minyak dan gas (migas).
"Dengan strategi diversifikasi usaha dari energi fosil ke energi terbarukan, perusahan migas Eropa seperti BP, Shell dan Total mulai meninggalkan bisinis migas. Akibatnya produksi dari lapangan-lapangan tua semakin tidak optimal dan terus menurun," bebernya.
Dalam kasus ini, investasi yang bertujuan menaikan produksi seperti improved oil recovery (IOR) dan enhanced oil recovery (EOR) banyak yang dibatalkan.