Energynews.id | Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar, menilai fluktuasi harga minyak dunia saat ini tak bisa lepas dari kebingungan dalam menerapkan transformasi energi.
Fenomena ini ditangkapnya dari banyak negara yang beralih dari penggunaan gas bumi menuju minyak untuk kebutuhan energi.
Baca Juga:
Kebut Elektrifikasi dan EBT, PLN Kantongi Pendanaan US$ 581,5 Juta dari Bank Dunia
"Sepertinya telah terjadi kebingungan dalam menerapkan strategi menuju Net Zero Emission," tulis Arcandra Tahar dalam akun Instagram resmi @arcandra.tahar, Minggu (13/3/2022).
"Energi terbarukan yang diharapkan mampu mengurangi ketergantungan manusia akan energi fosil masih mencari jalan terbaik karena harga yang tinggi dan pasokan yang tidak stabil," papar dia.
Persoalannya, ia menambahkan, di saat energi baru terbarukan (EBT) dibutuhkan pada musim dingin di Eropa, suplainya justru berkurang.
Baca Juga:
Kebut Elektrifikasi dan EBT, PLN Kantongi Pendanaan US$ 581,5 Juta dari Bank Dunia
Energi dari batu bara terpaksa dihidupkan kembali, sehingga penggunaan gas bumi menjadi naik signifikan. Akibatnya, harga batu bara dan gas bumi jadi sangat tinggi.
"Mampukah rakyat Eropa untuk membeli harga energi yang tinggi dari batubara dan gas bumi? Kalaulah mampu misalnya lewat program subsidi dari pemerintah, seberapa lama kemampuan keuangan negara menopang program subsidi ini?" cetusnya.
Menurut dia, kala pemerintah masih membutuhkan banyak dana untuk program pemulihan kesehatan dan ekonomi dari masa pandemi, program subsidi di sektor energi tampak sangat sukar untuk bisa bertahan lama.
"Kalau begitu, apa skenario yang mungkin terjadi? Banyak negara mulai berpikir untuk berpaling menggunakan kombinasi dari batu bara, gas dan minyak dalam rangka mencari soulsi termurah," tulisnya.
Dengan harga LNG spot yang tinggi, maka pelaku usaha kembali menggunakan minyak karena bisa lebih hemat (gas-to-oil switching).
Atau, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara kembali mendapat tempat untuk dioperasikan.
"Sebuah ironi ditengah maraknya usaha untuk meninggalkan energi fosil, justru skenario yang ada memaksa banyak negara untuk beralih ke energi fosil. Keterjangkauan biaya (affordability) menjadi salah kunci menuju Net Zero Emission," singgungnya.
Pengurangan Investasi
Selain itu, Arcandra juga mencermati adanya pengurangan investasi di energi fosil, terutama untuk komoditas minyak dan gas (migas).
"Dengan strategi diversifikasi usaha dari energi fosil ke energi terbarukan, perusahan migas Eropa seperti BP, Shell dan Total mulai meninggalkan bisinis migas. Akibatnya produksi dari lapangan-lapangan tua semakin tidak optimal dan terus menurun," bebernya.
Dalam kasus ini, investasi yang bertujuan menaikan produksi seperti improved oil recovery (IOR) dan enhanced oil recovery (EOR) banyak yang dibatalkan.
Kondisi ini diperparah dengan berkurangnya kegiatan eksplorasi yang bertujuan untuk mencari cadangan baru.
"Komplit sudah penderitaan industry migas kalau menggunakan strategi diversifikasi usaha," ujar Arcandra Tahar. [jat]