Biaya yang paling besar pertama adalah infrastruktur, seperti investasi, pemeliharaan maupun operasional. Kedua, biaya sumber daya manusia yaitu gaji.
“Untuk biaya bahan riset lebih murah, kita memakai sistem di berbagai negara yaitu kompetisi, jadi setiap orang harus berkompetisi untuk mendapatkan dana riset untuk bahan, sehingga banyak tim-tim riset sudah bisa riset karena infrastruktur ada. Infrastruktur inilah yang kita buka aksesnya, termasuk untuk kampus dan tidak hanya untuk periset BRIN,” tutur dia.
Baca Juga:
Megawati Didorong Mundur dari Ketua Dewan Pengawas BRIN dan BPIP, Ini Alasannya
Handoko menjelaskan ada sembilan skema hibah riset dan inovasi, terdiri atas skema riset ada empat, sedangkan lima untuk skema inovasi.
Contoh skema inovasi, yaitu skema pengujian produk inovasi kesehatan untuk uji klinis tidak diberikan ke periset, tetapi ke tim uji klinis yang independen bermitra kepada pelaku usaha seperti industri farmasi.
Hal ini akan mempercepat kandidat seperti obat bisa dikomersialisasi.
Baca Juga:
Larang Kadernya Ikut Retreat, Megawati Diminta Mundur dari BPIP dan BRIN
Selain itu, Handoko berharap periset BRIN benar-benar bisa menjadi terdepan secara global dan periset yang akan membawa daya saing negara dan bangsa.
“Kita harapkan periset BRIN harus menjadi periset-periset unggul yang mampu menjadi yang terdepan dan membawa gerbong para periset dan inovator Indonesia dari mana pun mereka berasal seperti industri, kampus,” kata Handoko. [jat]