Ini hanya mencakup pendapatan langsung pada keuangan pemerintah, ketergantungan bahan bakar fosil akan jauh lebih besar jika mempertimbangkan pendapatan swasta dan efek lanjutannya ke ekonomi.
Dalam studi IISD kesenjangan pendapatan terbesar diperkirakan akan dialami India US$ 178 miliar alias Rp 2.670 triliun, Cina US$ 140 miliar atau Rp 2.100 dan Rusia US$ 134 miliar atau Rp 2.010 triliun dengan adanya transisi energi untuk mencapai net zero 205.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
Setoran ke negara dari bahan bakar fosil memang relatif besar di enam negara tersebut, tetapi nilai tersebut tidak dapat diandalkan.
Pasalnya, dalam penelitian IISD sebelumnya menunjukkan, nilai eksternalitas yang ditimbulkan dari bahan bakar fosil tersebut justru jauh melebihi potensi pendapatan yang disetor ke nagar.
"Negara-negara berkembang memiliki peluang besar untuk membangun sistem energi yang lebih tangguh dan berkelanjutan secara ekonomi saat mereka melakukan dekarbonisasi, tetapi mereka harus merencanakan ke depan untuk menghindari kekurangan pendapatan publik yang dapat membalikkan kemajuan dalam pengentasan kemiskinan dan pembangunan ekonomi,” kata Laan.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
Untuk mengkompensasi potensi kehilangan pendapatan dari berkurangnya konsumsi bahan bakar fosil, IISD menyarankan negara-negara untuk menyusun rencana ekonomi yang positif terhadap iklim dan progresif secara sosial.
Langkah yang diambil bisa dengan menghapus subsidi dan meningkatkan pajak atas bahan bakar fosil tanpa merugikan kelompok miskin.
Diversifikasi aliran pendapatan, seperti pajak baru yang ditargetkan di sektor energi dan transportasi, juga akan memastikan bahwa kecanduan pendapatan bahan bakar fosil tidak menjadi penghalang reformasi.