Konsumenlistrikcom I Pada 2026 mendatang RI bercita-cita bisa menguasai pasar baterai kendaraan listrik Asia Tenggara (ASEAN).
RI tidak main-main dalam mengejar target menjadi pemain global baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV).
Baca Juga:
Uni Eropa Berlakukan Tarif Tinggi Mobil Listrik Buatan China
Target ini menjadi salah satu peta jalan yang ingin dicapai oleh Holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Baterai, Indonesia Battery Corporation (IBC) atau PT Industri Baterai Indonesia.
Dalam rangka mengejar target ini, menurut Toto Nugroho, Direktur Utama Indonesia Battery Corporation, tahun ini pihaknya mulai melakukan studi bersama dengan para mitra.
"Kami juga melakukan kajian detail, harapkan dari segi Engineering Procurement Construction (EPC), baik dari HPAL (smelter) dan RKEF bisa dilakukan di 2023," ungkapnya dalam webinar, Rabu (17/11/2021) pekan lalu dilansir dari CBC Indonesia .
Baca Juga:
Neta Luncurkan Model Ketiga Mobil Listrik di Indonesia, Dukung Pengurangan Emisi Karbon
Kemudian, pada 2024 ditargetkan pabrik Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF), High Pressure Acid Leaching (HPAL), dan pabrik daur ulang (recycle) sudah bisa beroperasi.
"Operasi tahun 2024 sebagian besar fasilitas produksi, kami harapkan sebelum 2025 kita sudah ada produksi baterai dan jadi regional electric vehicle (EV) baterai," lanjutnya.
Lalu, jika terus bisa dikembangkan secara komprehensif, maka menurutnya RI akan menjadi pusat produksi baterai EV di ASEAN pada 2026 mendatang. Artinya, pasar ASEAN akan dikuasai RI untuk produk baterai kendaraan listrik.
"Dan kalau bisa kembangkan komprehensif lagi, tahun 2026 akan jadi EV battery production hub di ASEAN, kita kuasai pasar ASEAN dengan produksi baterai kita," ungkapnya.
Tidak berhenti hanya menguasai pasar ASEAN saja, IBC juga akan melebarkan sayapnya, melakukan ekspansi secara kapasitas, sehingga bisa menjadi pemain global pada 2027.
Bahkan, IBC disebut-sebut akan mengakusisi StreetScooter, produsen kendaraan listrik milik Deutsche Post DHL Group asal Jerman.
Holding baterai ini dibentuk oleh empat Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Terdiri dari Holding BUMN Industri Pertambangan MIND ID (PT Indonesia Asahan Aluminium/Inalum), PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero), dengan komposisi saham sebesar masing-masing 25%.
Lebih lanjut dia mengatakan, puncak dari permintaan kendaraan listrik Indonesia akan terjadi pada 2035 mendatang. Di tahun tersebut permintaan baterai EV diperkirakan bisa mencapai 59 Giga Watt hour (GWh).
Proyeksi ini menurutnya diukur berdasarkan kajian yang sudah pihaknya lakukan, di RI ada tiga segmen besar yang mendorong kebutuhan baterai EV.
Dari sisi kendaraan, ada roda empat yang diproyeksikan hingga 2035 bakal mencapai hampir 400 ribuan kendaraan per tahun, sehingga butuh banyak suplai baterai. Selain roda empat, ada juga roda dua yang diproyeksikan bakal mencapai 3 juta kendaraan.
"Satu segmen lagi yang penting untuk Indonesia adalah Energy Storage System (ESS)," ungkapnya.
Menurutnya, ESS semacam baterai yang digunakan untuk menyuplai energi. Sistem ini digunakan untuk menyimpan energi dari pembangkit-pembangkit listrik yang memiliki sifat intermittent seperti pembangkit listrik tenaga solar dan angin.
"ESS jadi baterai yang kita gunakan untuk bisa menyuplai energi," lanjutnya.
Berdasarkan data yang dia paparkan, permintaan baterai EV di Indonesia pada 2025 masih ada di kisaran 4,7-6 GWh, di tahun 2030 meningkat jadi sekitar 14,7-20,1 GWh, dan pada 2035 akan melonjak signifikan menjadi 47-59,1 GWh.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri telah menyatakan dukungannya untuk meningkatkan produksi mobil listrik. Jokowi menilai pentingnya ekosistem mobil listrik yang rendah emisi dan ramah lingkungan.
"Kita mendorong untuk produksi mobil listrik, produksi mobil hybird, tetapi sekali lagi yang semuanya harus ramah lingkungan," jelas Jokowi
Ekonom Indef Tauhid Ahmad memandang, Indonesia akan mampu menguasai industri mobil listrik global di masa depan. Apalagi, Indonesia bisa memiliki sumber baterai listrik dari turunan nikel.
"Setahu saya sumber biaya yang paling mahal dari mobil listrik soal komponen baterai listrik. Karena satu ini kita punya daya saing," jelasnya.
Namun, Tauhid mengingatkan bahwa dari segi teknologi Indonesia tidak dapat bekerja sendiri. Pemerintah, sambung dia, perlu memberikan kepada sektor ini agar terus berkembang.
"Kita harus bermitra dengan banyak perusahaan luar. Kalau hanya mengandalkan SDM sendiri terlalu lama, mungkin bisa, tapi lama," jelasnya. (tum)