Konsumenlistrik.com | Pemerintah berencana melepas harga batu bara untuk kepentingan dalam negeri (Domestic Market Obligation/ DMO), khususnya untuk pembangkit listrik, menjadi mengikuti harga pasar dari ketentuan saat ini yang dipatok maksimal sebesar US$ 70 per ton.
Meski nantinya pemerintah berjanji akan menutupi selisih biaya harga pasar dan harga patokan maksimal US$ 70 per ton tersebut dari skema pungutan batu bara melalui Badan Layanan Umum (BLU), namun PLN tetap harus mengeluarkan biaya lebih tinggi terlebih dahulu sambil nantinya digantikan oleh BLU tersebut.
Baca Juga:
Ratu Batu Bara Tan Paulin Diperiksa KPK di Kasus Rita Widyasari
Usulan skema tersebut direspons produsen batu bara PT Bumi Resources Tbk (BUMI). Direktur BUMI Dileep Srivastava mengatakan bahwa Indonesia tidak dapat mengonsumsi semua batu bara yang dihasilkannya, di mana sekitar 30% dikonsumsi di dalam negeri dan sekitar 70% diekspor.
"Dan menurut kami selama ada kejelasan kebijakan DMO dan pasokan batu bara serta kebijakan PLN, saya kira cukup bisa diatur," kata dia dilansir CNBC Indonesia, Rabu (19/1/2022).
Ia menegaskan bahwa harga batu bara di dalam negeri harus sejalan dengan harga internasional.
Baca Juga:
KPK Ungkap Eks Bupati Kukar Dapat US$5 per Matrik Ton dari Perusahaan Batu Bara
"Tetapi jika harga internasional tetap tinggi, itu dapat dikompensasikan sebagian. Jadi kita menyambut kebijakan untuk lebih penting, dan lebih efisien," ujar Dileep.
Pemerintah tengah membahas mengenai perubahan skema suplai batu bara untuk kebutuhan pembangkit listrik milik PT PLN (Persero). Pemertintah tengah merancang skema melalui Badan Layanan Umum (BLU) pungutan batu bara.
Melalui BLU Pungutan batu bara, harga batu bara dalam negeri yang saat ini dipatok US$ 70 per ton akan diubah, dan harga pembelian batu bara akan dilepas ke harga pasar, mengikuti fluktuasi harga sewajarnya.
Dengan membeli batu bara sesuai pasar, PLN akan disubsidi melalui BLU pungutan batu bara tersebut. [tum]