KonsumenListrik.WAHANANEWS.CO, Jakarta – Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS) mengimbau pemerintah untuk berhati-hati dalam melaksanakan rencana ekspor listrik ke Singapura.
ALPERKLINAS menegaskan bahwa ekspor energi, meski berpotensi meningkatkan pendapatan negara, tetapi jangan sampai mengorbankan kebutuhan listrik nasional, khususnya bagi masyarakat di wilayah terpencil dan sektor industri strategis di dalam negeri.
Baca Juga:
RUPTL Terhijau Sepanjang Sejarah, PLN Komitmen Wujudkan Transisi Energi
Organisasi perlindungan konsumen ini menyatakan bahwa pemerintah wajib memastikan kecukupan pasokan dan kestabilan harga listrik bagi rakyat Indonesia sebelum menyetujui proyek ekspor skala besar yang berpotensi menyedot sumber daya energi domestik.
“Ekspor listrik boleh saja dilakukan sebagai langkah strategis memperkuat posisi Indonesia di pasar energi regional. Tapi harus dipastikan dulu bahwa rakyat Indonesia tidak akan kekurangan listrik, terutama masyarakat di kawasan terpencil dan industri nasional yang membutuhkan pasokan stabil,” ujar Ketua Umum ALPERKLINAS, KRT Tohom Purba, Jumat (7/6/2025).
Tohom mengingatkan bahwa pengelolaan energi nasional harus mengedepankan kepentingan publik, bukan semata-mata kepentingan korporasi internasional atau target ekspor.
Baca Juga:
PLN Perkuat Kemitraan Internasional untuk Dorong Energi Hidro Nasional
Ia menyebut pengalaman buruk ekspor sumber daya alam di masa lalu harus menjadi pelajaran berharga dalam menyusun kebijakan energi masa depan.
“Jangan sampai kita mengulang kesalahan masa lalu, di mana kekayaan alam diekspor besar-besaran sementara rakyat justru harus antre listrik atau membeli dengan tarif mahal,” tegasnya.
Sebagaimana diketahui, Singapura telah memberikan izin bersyarat kepada Singa Renewables Pte Ltd. -- perusahaan patungan antara TotalEnergies SE dari Prancis dan konglomerat Indonesia Royal Golden Eagle (RGE) Pte. Ltd. -- untuk mengimpor hingga 1 gigawatt (GW) listrik dari Indonesia.
Proyek ini juga melibatkan pembangunan kabel listrik bawah laut antara kedua negara, sebagai bagian dari inisiatif ASEAN Power Grid.
Menanggapi hal tersebut, Tohom mendesak agar pemerintah menyusun roadmap ekspor listrik secara transparan dan partisipatif, dengan menjamin bahwa kebutuhan nasional tetap menjadi prioritas utama.
Ia menekankan pentingnya keterlibatan lembaga konsumen, akademisi, dan masyarakat dalam merumuskan kebijakan ekspor listrik ini.
“Kami mendesak pemerintah untuk menyusun peta jalan ekspor listrik yang menjamin keadilan energi. Harus ada jaminan hukum dan kebijakan bahwa konsumen domestik tidak akan dirugikan oleh kontrak ekspor jangka panjang yang mengikat,” ujarnya.
Tohom, yang juga Pengamat Kebijakan Publik, menyoroti bahwa proyek ekspor listrik lintas negara seperti ini rentan mengabaikan aspek sosial dan lingkungan jika tidak disertai dengan regulasi yang ketat.
Menurutnya, pengawasan terhadap dampak lingkungan dan keberlanjutan harus melekat dalam setiap tahap perencanaan.
“Publik harus diberi ruang untuk mengetahui siapa yang mendapat keuntungan terbesar dari proyek ini. Jangan sampai sumber daya milik bangsa malah jadi monopoli segelintir korporasi, sementara masyarakat lokal hanya kebagian dampak lingkungannya,” katanya.
Ia juga menekankan bahwa Indonesia perlu memandang listrik bukan hanya sebagai komoditas ekspor, tetapi sebagai hak dasar rakyat yang harus dijamin terlebih dahulu.
"Kalau dunia saja percaya pada potensi energi bersih kita, seharusnya kita lebih percaya dan melindungi kepentingan rakyat sendiri," pungkasnya.
Sebelumnya, proyek ekspor energi ini disebut sebagai bagian dari strategi Singapura untuk mengurangi ketergantungan terhadap gas alam cair (LNG) dan memenuhi target impor 6 GW energi bersih pada 2035.
Hingga saat ini, Otoritas Pasar Energi Singapura (Energy Market Authority/EMA) telah menyetujui total 3,4 GW proyek impor listrik dari Indonesia, sebagian besar bersumber dari tenaga surya.
Selain dengan Indonesia, Singapura juga tengah menjajaki kerja sama tenaga angin dengan Vietnam serta telah menandatangani kesepakatan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dengan Malaysia pada Februari lalu.
Pengumuman proyek ini bertepatan dengan kunjungan Presiden Prancis Emmanuel Macron ke Singapura, di mana kerja sama strategis bidang energi bersih, pertahanan, dan keamanan siber turut ditegaskan kembali.
[Redaktur: Mega Puspita]