KonsumenListrik.WAHANANEWS.CO - Langkah strategis PT TBS Energi Utama Tbk. (TOBA) untuk meninggalkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan fokus mengembangkan energi bersih mendapat apresiasi dari Aliansi Lembaga Perlindungan Konsumen Listrik Nasional (ALPERKLINAS).
Keputusan TOBA untuk beralih ke energi terbarukan dinilai sebagai sinyal positif dari dunia usaha yang mulai menjawab tantangan perubahan iklim sekaligus menjunjung prinsip keberlanjutan dalam sektor kelistrikan nasional.
Baca Juga:
Pemasangan Plang Kepemilikan Tanah di Lapangan Mini oleh OTK, Keturunan Napitupulu Keberatan
"Kami memandang divestasi PLTU oleh TOBA bukan hanya sebagai langkah bisnis, melainkan komitmen moral terhadap masa depan bumi. Ini bentuk tanggung jawab yang patut ditiru oleh korporasi energi lainnya," ujar Ketua Umum ALPERKLINAS, KRT Tohom Purba, Rabu (25/6/2025), menanggapi transisi TOBA ke energi baru terbarukan (EBT) dengan target 370 megawatt hingga 2030.
Tohom menjelaskan, penghapusan PLTU sebagai penyumbang emisi karbon terbesar merupakan langkah penting dalam mempercepat transisi energi bersih di Indonesia.
Ia mengungkapkan bahwa kontribusi sektor swasta dalam menekan emisi gas rumah kaca akan berdampak langsung terhadap hak konsumen untuk mendapatkan energi yang bersih, adil, dan berkelanjutan.
Baca Juga:
Tinjau SMP Negeri 2 Satu Atap Borbor, Bupati Toba Upayakan Perbaikan dari Dana Efisiensi
"Ketika emiten besar seperti TOBA mau secara serius menggarap PLTA, PLTB, bahkan menyiapkan potensi ekspor listrik hijau, maka itu menandai kemajuan besar dalam tata kelola energi. Konsumen akan diuntungkan bukan hanya dari sisi tarif, tapi juga dari kualitas lingkungan hidup yang lebih sehat," papar Tohom.
Sebelumnya, pada 16 Mei 2025, TOBA secara resmi mengumumkan telah melepas kepemilikan atas PLTU Gorontalo yang dikelola oleh anak usahanya, PT Gorontalo Listrik Perdana (GLP), senilai US$144,8 juta atau sekitar Rp2,28 triliun.
Meski mencatat kerugian secara akuntansi, manajemen TOBA menegaskan bahwa perusahaan tetap meraih keuntungan dari sisi arus kas. Divestasi ini dinilai menjadi titik balik yang menandai keseriusan TOBA meninggalkan energi berbasis batu bara.
Tohom menambahkan, pengembangan EBT oleh TOBA sejalan dengan kebutuhan jangka panjang Indonesia dalam memastikan ketahanan energi berbasis lingkungan.
Ia menyoroti proyek-proyek EBT TOBA yang tersebar mulai dari PLTA berkapasitas 6 MW di Lampung, hingga rencana pengembangan 46 MW di Batam, serta proyek-proyek masa depan seperti PLTB dan PLTA lainnya yang termasuk dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
Tohom yang juga menjabat sebagai Ketua Umum DPP LSM Martabat (Masyarakat Pemantau Kewibawaan Aparatur Negara) menilai bahwa pemerintah perlu memberi insentif lebih besar bagi korporasi seperti TOBA yang berani mengambil risiko meninggalkan energi fosil.
"Kebijakan harus memihak pada yang progresif. Negara harus menghargai korporasi yang tidak hanya mengejar laba, tetapi juga memperjuangkan hak generasi mendatang untuk hidup di lingkungan yang lestari. Ini bukan sekadar urusan energi, ini soal martabat nasional," tegasnya.
Ia pun mendorong agar kebijakan energi nasional semakin memfasilitasi keterlibatan swasta dalam proyek-proyek EBT, termasuk memberi kepastian hukum atas perizinan, kepastian tarif, dan kepastian pasokan.
"Jangan sampai investasi energi bersih justru terganjal oleh birokrasi. Kita butuh kecepatan dan keberanian mengambil keputusan," tandasnya.
Sementara itu, Head of Corporate Finance & Investor Relations TOBA, Mirza Rinaldi Hippy, menyatakan bahwa TOBA menargetkan total kapasitas 370 MW pembangkit EBT hingga tahun 2030.
Beberapa di antaranya sudah beroperasi, sementara lainnya masih dalam tahap perencanaan dan tender.
"Ada beberapa potensi yang masih bisa kita eksplor lagi, antara lain untuk lokal juga untuk kawasan industri, termasuk juga untuk potensi ekspor listrik," ujar Mirza dalam Public Expose Insidentil TOBA pada Jumat (20/6/2025).
[Redaktur: Mega Puspita]