Energynews.id | Proses transisi energi yang sedang berlangsung di Indonesia dinilai semakin menguatkan peranan industri hulu migas. Topik ini mengemukakan dalam focus group discussion media yang diselenggarakan di Bandung, Senin (3/10/2022).
Peranan sektor hulu migas dalam dalam jangka pendek masih merupakan sumber pendapatan negara yang strategis, dalam jangka panjang akan menjadi sebagai penggerak perekonomian nasional.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
Perubahan peranan hulu migas tetap memberikan dampak positif lainnya yaitu menciptakan lapangan kerja, menarik investasi dan menopang tumbuhnya kapasitas nasional di pusat maupun di daerah.
Dengan demikian, industri migas belum memasuki industri yang sunset.
Kebutuhan energi di era transisi masih akan dipasok oleh energi yang berasal dari fosil, termasuk minyak dan gas bumi.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
Proses menuju tahun 2060 nett zero emission dalam proses perjalanannya energi terbarukan dan energi fosil saling melengkapi dan mengisi dalam bauran kebutuhan energi ke depan.
“Kebutuhan energi yang bersumber dari minyak dan gas terus meningkat. Saat ini saja Indonesia adalah net importir minyak dari sejak tahun 2004. Oleh karena itu di era transisi energi pemerintah harus meningkatkan produksi minyak agar bisa mengurangi impor minyak, sehingga negara memiliki ruang yang lebih luas untuk mengalokasikan pembiayaan energi terbarukan," kata Mamit Setiawan pengamat energi dari Energy Watch dalam FGD tersebut.
Mamit mengatakan industri hulu migas perlu dukungan besar dari berbagai stakeholders agar kekayaan alam migas dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat dari UUD 1945.
Pada sisi lain, industri hulu migas mampu bertransformasi dalam menuju energi yang lebih bersih, dengan cara efisiensi energi dan mengembangkan potensi bisnis CCS/CCUS.
Bahkan kedepan, jika bisnis CCS/CCUS sudah sanga dominan, justru industri hulu migas telah berubah menjadi industri bersih, karena membantu menyerap dan menyimpan CO2 yang dikeluarkan oleh industri lain, seperti industri semen, industri besi baja dan lainnya.
“Hal yang mendesak adalah revisi UU Migas untuk segera dibuat dalam rangka melindungi / menjaga keberlangsungan Industri Hulu Migas dan multiplier effect nya. Perlu adanya political will dari semua pihak."
"Ada atau tidak ada dalam proglegnas, karena amanat revisi UU Migas adalah merupakan keputusan Mahkamah Konstitusi, maka setiap saat jika ada political will, maka revisi UU Migas bisa dibahas Pemerintah dan DPR," ujar Mamit.
Pada acara yang sama, Senior Manager Corp. Sustainability and Risk Management Medco Energi Firman Dharmawan menyampaikan bahwa Medco sebagai perusahaan publik, tingkat pengharapan terhadap tata kelola lingkungan, termasuk SDG menjadi fokus, suka atau tidak suka harus dihadapi.
Perubahan iklim sudah terjadi ada risiko, harus dimitigasi karena bisnis harus terus berlanjut.
Kontribusi bisnis Medco saat ini 90 persen masih migas, sebagai bagian dari pengembangan kedepan Medco telah memiliki lini bisnis di sektor ketenagalistrikan dan pertambangan. Medco Power yang didirikan tahun 2004 menjadi ujung tombak di era energi transisi.
Firman menambahkan, sebagai bagian peta jalan dan kerangka keberlanjutan, Medco telah memulainya sejak tahun 2017 dan di tahun 2022 telah melakukan pengkinian penilaian materialitas dan penilaian hak asasi manusia yang mencakup pengkinian prioritas topik-topik ESG, peta jalan keberlanjutan 5 tahun mendatang dan peta jalan emisi net zero.
“Meskipun saat ini isu mengenai EBT telah menjadi perbincangan yang luas dan perhatian para pengambil kebijakan, namun kenyataannya energi fosil dari minyak dan gas tetap dibutuhkan."
"Namun, persyaratan kerjasama dengan investor semakin ketat karena harus memiliki program dan pelaporan keberlanjutan lingkungan. Medco Energi telah menyiapkannya sehingga sektor bisnis migas terus berkembang hingga sekarang," kata Firman. [jat]