Sejatinya, Jugi melihat prospek permintaan bahan bakar gas akan sangat bagus ke depannya. Dia melihat bahwa konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) terus mengalami kenaikan sekitar 3%-5% per tahun. Hal ini mencerminkan ke depannya kebutuhan bahan bakar untuk transportasi akan terus meningkat.
Namun, untuk menangkap peluang BBG tersebut, lanjut Jugi, diperlukan kebijakan pemerintah serta strategi yang tepat.
Baca Juga:
Diskon 50 Persen Tarif Listrik Tidak Diperpanjang, Ini Informasi Lengkapnya
Pasalnya, saat ini bisnis bahan bakar gas terkesan tidak berkembang. Dia memaparkan lebih jauh, ada tiga hal pokok yang harus diperhatikan dalam menumbuhkan bisnis bahan bakar gas, yakni availibility, pricing, dan converter-kit built-in.
Dari sisi availibility, bisa dengan cara memaksimalkan penggunaan outlet SPBU Pertamina sebagai tempat pengisian BBG (bisa online atau offline/daughter station).
Lalu dari segi pricing, harga BBG yang menggunakan pola daughter station diberikan keleluasan untuk menambah biaya pengadaan termasuk biaya transportasi ke SPBU.
Baca Juga:
RI Diam-diam Impor Nikel dari Negara Tetangga, Ini Kata Kemeterian ESDM
“Yang penting harga akhir BBG tidak melebihi harga Pertalite dan Solar subsidi. Ingat bahwa pembanding harga BBG ini saat ini adalah harga BBM penugasan yaitu Pertalite (Rp 7650/liter) dan BBM subsidi Solar (Rp 5150/liter),” ujarnya.
Terakhir, converter-kit dibuat secara built-in di mobil-mobil yang merupakan produksi Original Equipment Manufacturer (OEM) Indonesia.
Jugi menjelaskan, untuk meningkatkan penggunaan BBG secara nyata maka setiap kendaraan yang diproduksi OEM di Indonesia diwajibkan menggunakan converter-kit secara built-in.