Energynews.id | Pemerintah melalui Kementerian ESDM dengan resmi mengumumkan harga Bahan Bakar Gas (BBG) naik menjadi Rp 4.500 per liter setara premium (LPS).
Pengamat energi menilai bahwa langkah ini sudah tepat untuk menggairahkan bisnis BBG yang saat ini sedang mati suri.
Baca Juga:
Diskon 50 Persen Tarif Listrik Tidak Diperpanjang, Ini Informasi Lengkapnya
Jugi Prajogio, pengamat energi dan komite BPH (2007-2010 dan 2017-2021) telah mengatakan dalam beberapa kesempatan untuk mengusulkan kenaikan harga BBG menjadi di atas Rp 4000/LSP untuk menjaga keekonomian bisnis BBG.
Bahkan, Jugi mengungkapkan, ketika dia masih aktif bertugas di Pertagas Niaga (2013-2016), Pertagas Niaga telah berhasil memasok BBG untuk kendaraan dinas operasional SKK Migas yang pada saat itu disetujui langsung oleh Kepala SKK Migas, Amien Sunaryadi dengan harga di atas Rp 4.000 per LSP.
Pola supply BBG yang digunakan ialah dengan mobile refueling unit (MRU) yang diletakkan di suatu tempat dan berdekatan dengan gedung SKK Migas.
Baca Juga:
RI Diam-diam Impor Nikel dari Negara Tetangga, Ini Kata Kemeterian ESDM
“Dengan pengalaman tersebut maka keputusan Menteri ESDM untuk menaikkan harga sudah tepat, idealnya harga baru tersebut ditetapkan lebih awal agar bisnis BBG ini tidak mati suri seperti saat ini,” jelasnya, Selasa (10/5).
Lantas, apakah kenaikan harga jual BBG ini serta merta berdampak pada keekonomian pembangunan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG)? Jugi menjawab, jika membangunnya dengan dana mandiri, maka sebaiknya harus dikaji lebih lanjut apakah beban belanja modal (Capex) SPBG sudah ter-cover dalam struktur harga Rp 4500/LSP. Kemudian, harus ditelaah lagi berapa target throughput (volume) SPBG untuk mencapai keekonomian bisnis.
“Semisal keekonomian SPBG tersebut akan tercapai jika volume gas yang tersalurkan cukup tinggi, sebaliknya tidak akan tercapai keekonomian jika volume gas yang tersalurkan kecil,” terangnya.