Energynews.id | Harga komoditas energi rupanya masih terus berada pada level yang tinggi sepanjang tahun ini. Sentimen dari konflik Rusia - Ukraina yang belum kunjung mereda jadi katalis utama yang menjaga harga berbagai komoditas energi tetap tinggi.
Merujuk Bloomberg, harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) pada perdagangan Jumat (6/5) berada di level US$ 109,77 per barel. Sepanjang April hingga Mei, tercatat harga minyak terpantau stabil bergerak menguat di atas US$ 95 per barel. Jika dihitung sejak akhir tahun 2021, harga minyak sudah berhasil menguat 45,95%.
Baca Juga:
Gantikan Gandum yang Kini Mahal, Perum Bulog akan Bangun Pabrik Sagu
Sementara itu, harga gas alam bahkan jauh lebih liar penguatannya. Pada Jumat (6/5), harga gas alam turun 8,43% ke US$ 8,04 per mmbtu dari US$ 8,78 per mmbtu yang menjadi level harga tertinggi. Namun, dalam sepekan harga alam masih melambung 11,03% dari US$ 7,24 per mmbtu. Sedangkan secara year to date, kenaikannya bahkan sudah menyentuh 124,58%.
Tak berbeda, harga batu bara juga berada dalam tren serupa. Tercatat, harga batu bara di ICE Newcastle pada Jumat (6/5) berada di level US$ 341,65 atau menguat 21,99% dalam sepekan terakhir. Sementara jika dihitung sejak akhir tahun, harga batu bara berhasil naik hingga 177,43%.
Direktur TRFX Garuda Berjangka Ibrahim menilai, tren penguatan harga komoditas energi dalam beberapa waktu terakhir merupakan imbas dari keputusan Rusia yang melakukan serangan balik dengan menghentikan ekspor gas alam, minyak, dan batu bara. Hal ini menyebabkan berkurangnya pasokan secara signifikan, khususnya di negara-negara Eropa.
Baca Juga:
Ma'ruf Amin Sebut Pembiayaan Syariah Jadi Pendanaan Alternatif Transisi Energi
“Khusus untuk gas alam, terputusnya aliran pasokan gas ke Bulgaria dan Polandia telah mengakibatkan krisis energi di kawasan Eropa. Kenaikan harga gas alam pun tak bisa dihindari seiring semakin ketatnya pasokan,” kata Ibrahim.
Di saat bersamaan, produksi gas alam di Amerika Serikat juga menurun seiring dengan penyimpanan gas yang tercatat 21% lebih rendah dibandingkan tahun lalu.
Sementara untuk harga batu bara pada akhirnya ikut mengalami kenaikan karena banyak negara yang menjadikannya sebagai substitusi dari gas alam. Sayangnya, pasokan batu bara global sendiri masih terbatas, terlebih lagi dengan China yang kembali sempat menerapkan lockdown akibat kenaikan kasus Covid-19.
Menurut Ibrahim, kenaikan harga komoditas energi ini juga bisa berdampak panjang karena akan memicu kenaikan inflasi yang tinggi. Dengan inflasi yang menguat, maka dolar AS akan ikut mengalami penguatan dan hal tersebut membuat harga komoditas ikut mengalami kenaikan. Hal tersebut pada akhirnya akan menghambat proses pemulihan ekonomi Eropa.
“Jadi sentimen untuk harga komoditas energi ke depan adalah kelanjutan perang Rusia - Ukraina. Selama perang berkecamuk, kecil kemungkinan harga komoditas energi bisa mengalami penurunan,” imbuh Ibrahim.
Berdasarkan perkiraan Ibrahim, selama konflik masih memanas, harga gas alam ke depan bisa menembus level US$ 9 per mmbtu. Lalu, harga minyak dunia akan bergerak melewati US$ 115 per barel, dan harga batu bara bisa kembali naik ke atas US$ 350-an per ton. [jat]